Selamat Datang


widgets

Selasa, 05 Agustus 2014

FILOSOFI PEMBAHARUAN PRAKSIS PEMBELAJARAN



A.   Pendahuluan                                                   
Sampai saat ini, pendidikan khususnya pendidikan formal masih diyakini sebagai sarana yang efektif untuk membudayakan berbagai nilai, sikap dan keterampilan yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Berbagai krisis manusia moderenpun seperti krisis moral, krisis nilai, krisis kepercayaan, krisis keteladanan, krisis ilmu pengetahuan dan yang paling krusial adalah krisis kreatifitas dalam melakukan inovasi-inovasi baru pada berbagai bidang kehidupanpun diyakini dapat diatasi melalui penyelenggaraan pendidikan yang memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan kreatifitasnya.
Keyakinan ini tentunya dilandaskan pada adogium bahwa setiap generasi tentunya ingin mewariskan sesuatu kepada generasi penerusnya. Sesuatu itu menurut Ali Imron (2008: 3) dapat berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. Keyakinan yang sama juga disampaikan oleh Durkheim sebagaimana dikutip oleh George Ritzer dalam bukunya Sociological Theory (2004: 115) yang menyatakan bahwa pendidikan akan memberi idividu berbagai disiplin ilmu yang ia butuhkan untuk menghadapi berbagai krisis dalam hidupnya dan mengendalikan nafsu yang mengancam mereka.

Dengan demikian, pendidikan merupakan proyek kemanusiaan yang tersusun secara sistematis, terencana dan berkesinambungan. Istilah kemanusiaan disini secara leksikal bermakna sifat-sifat manusia berperilaku selayaknya manusia, atau bertindak dalam logika berpikir manusia (Sudarwan Danim, 2003: 2). Sebagai agenda proses kemanusiaan dan pemanusiaan, maka pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu mencetak figur-figur yang memiliki dorongan ingin tahu (coriousity) yang kuat dalam kaitannya dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, individu yang memiliki idealisme yang tinggi untuk menata bidang-bidang kehidupan kearah yang lebih baik, individu-individu yang konsen pada kebenaran, individu-individu yang memiliki sikap moral yang baik. Apakah tujuan ini dapat terwujud? Durkheim menjawabnya dengan dialogis bahwa pendidikan akan menolong anak-anak mengembangkan sikap moral terhadap masyarakat. Bagi Durkheim, ruang kelas dalam pendidikan formal merupakan masyarakat kecil dan dia meyimpulkan bahwa kesadaran kolektif akan menciptakan kekuatan yang cukup untuk menanamkan sikap moral (George Ritzer, 2004: 115). Dengan demikian, hal ini akan memungkinkan pendidikan untuk hadir dan memproduksi semua elemen moralitas.  
Berangkat dari pemikiran ini kemudian, maka pendidikan sejati adalah sebuah “Pedagogi Pengharapan” (Friere, 1994: 7). Istilah ini mengisyaratkan bahwa esensi dari pendidikan adalah bagaimana mengembangkan dan sekaligus membantu individu-individu untuk mencapai harapan-harapan yang disemaikan dalam kehidupannya. Untuk kepentingan sebagaimana terurai di atas maka, pendidikan harus diselenggarakan secara terbuka. Terbuka dalam artian, melibatkan anak didik secara aktif dalam berbagai proses di dalamnya. Proses yang dimaksud adalah proses pembelajaran. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana dengan praksis pembelajaran kita saat ini? apakah prinsip kebermaknaan, prinsip pelibatan dan prisnsip keterbukaan telah menjadi ciri khas dari pembelajaran yang dikelola dan diselenggarakan pada ruang-ruang kelas kita selama ini?
                                                                              
B.   Kondisi Pembelajaran Dewasa ini: Praktek dan Solusi
Pembelajaran kita dewasa ini belum dikelola secara kompetitif dan inovatif serta aktif mendorong siswa untuk membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata. Padahal, lewat pembelajaran yang kompetitif, diyakini akan dapat melahirkan manusia-manusia yang memiliki kemampuan kompetisi pula. Pribadi yang kompetitif disini bukan berarti pribadi yang egoistik (Tilaar, 2000: 15). Pribadi yang kompetitif disini adalah pribadi yang inovatif melalui pembudayaan sikap kerja sama. Dengan kerja sama, dapat dikembangkan kompetisi yang sehat sehingga produk IPTEK yang dihasilkan berkualitas.
Disamping itu, kondisi ini kemudian semakin diperparah dengan pembelajaran yang tidak menyentuh aspek kontekstual masyarakat sekitar. Pembelajaran seolah menjadi materi tersendiri yang tidak berkesinambung dengan kehidupan keseharian. Materi yang diberikanpun tidak terintegrasi satu sama lain. Secara logika, bagaimana mungkin belajar ilmu bumi dengan memisahkan antara fisika, biologi, kimia dan matematika. Atau bagaimana berharap akan lahir elit politik yang beretika dan berkeadaban sementara dalam praktek pembelajarannya, anak didik tidak diajak terlibat dalam proses politik dan demokrasi?. Contoh ril, ketika seorang anak belajar mengenai tumbuhan, harusnya dia belajar bagaimana proses menanam tanaman, juga mempelajari proses kapilarisasi, meneliti unsur kimia tanah/hara yang mempengaruhi perkembangan tanaman, mengamati proses fotosintesa, mengukur tiap inchi perkembangannya, mempelajari bentuknya, menghapal nama latin dari bagian-bagian tanaman, menggambar, membuat prakarya dari bagian tanaman, belajar cycle of life dari tanaman tersebut, dan sebagainya. Project akhirnya adalah membuat presentasi; entah berupa unsur tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, mendesain operet mengenai kehidupan imajinasi tanaman, atau sekedar menceritakan salah satu proses yang telah mereka pelajari. Menarik bukan? Dari satu tema semua materi dapat terintegrasi.
Contoh lain misalnya, ketika seorang anak belajar tentang hukum dan demokrasi pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harusnya disamping dia belajar tentang teori “namun” dia seharusnya mengalami proses hukum dan demokratisasi dalam bentuk miniatur kehidupan yang dilandaskan oleh hukum dan demokrasi di kelas. Hal ini dapat diwujudkan melalui praktek “Role Playing” dan atau “demonstrasi” yang berkaitan dengan isu-isu hukum dan demokrasi. Di sisi lain, anak didik dapat dihadapkan dengan situasi nyata, melalui metode penugasan kepada anak didik untuk mereview proses hukum yang terjadi dilembaga-lembaga hukum yang ada seperti lembaga peradilan dan kepolisian. Dengan proses pembelajaran seperti tersebut, anak didik akan memiliki kekayaan teori dan praktek yang terkait dengan hukum dan demokrasi yang selanjutnya menjadi informasi penting bagi pembentukan pribadi yang sadar hukum dan demokratis.
Anomali praktek pembelajaran yang terjadi selama ini, menurut penulis karena asumsi yang dijadikan sebagai platform yang tidak tepat. Meminjam apa yang dikatakan oleh Peter Sange bahwa pendidikan selama ini dilandasi oleh suatu asumsi dasar yang kini perlu dipertanyakan kebenarannya. Beberapa asumsi yang kurang tepat tersebut itu adalah sebagai berikut: Pertama, asumsi bahwa tujuan pendidikan adalah mempelajari ilmu pengetahuan. Asumsi ini perlu di review kembali demi kepentingan peserta didik. Untuk sampai kearah ini, maka dalam praktek pembelajaran harus bersifat konstruktifistik (Constructivism). Artinya memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang hasilnya kemudian diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Dengan dasar ini, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkontruksi pengetahuan bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam pembelajaran, siswa menjadi pusat pembelajaran bukan guru (Depdiknas, 2003: 11).
Asumsi kedua, ilmu pengetahuan terbagi dalam berbagai bidang yang saling terpisah, misalnya  matematika, fisika, ekonomi, PKn dan sebagainya. Dalam pendidikan siswa-siswa ditugaskan untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut secara terpisah. Mungkin memang benar ilmu pengetahuan terkotak-kotak atau mungkin kita yang memecah itu sekedar untuk memudahkan memahaminya, namun perlu diperhatikan bahwa hakikat ilmu pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang saling terkait. Kemudian, problem kehidupan tidak dapat dipahami secara terkotak-kotak seperti ilmu pengetahuan yang selama ini ada.
Fenomena alam selalu terkait dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Hujan bukanlah semata-mata fenomena fisika, yaitu perubahan uap air menjadi butiran air akibat suhu yang dingin. Hujan terkait dengan bidang kimia, kesehatan, sosial ekonomi dan bahkan pengetahuan agama. Jika siswa SD belajar menanam bunga atau tumbuhan tertentu dikebun sekolah bukan hanya terkait dengan pelajaran IPA, tetapi berkenaan dengan pelajaran kesenian, agama, IPS, PKn dan mungkin juga berkenaan dengan pelajaran matematika. Untuk itu, sedianya dalam praksis pembelajaran harus dapat membangun keterkaitan dari berbagai disiplin ilmu tersebut dan membantu anak didik untuk dapat menemukan relevansi antara ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman praktis dalam kehidupannya, sehingga dengan proses tersebut maka akan dapat membimbing anak untuk berpikir holistik (menyeluruh) dalam memecahkan berbagai persoalan-persoalan yang timbul dalam kehidupannya dengan pendekatan interdisipliner tentunya. Atau dengan kata lain harus dibudayakan konsep belajar bermakna (meminjam istilah Jeremi S Bruner) dalam pembelajaran.
Asumsi ketiga, belajar itu berlangsung di ruang kelas dan bersumber dari buku pelajaran. Implikasi dari asumsi ini dalam praktek pendidikan dan pembelajaran adalah siswa dikurung di kelas selama jam pelajaran dan harus mencermati kalimat demi kalimat dalam buku pelajaran, sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Proses semacam ini lambat laun akan menghasilkan generasi robot yang hanya berpikir mekanistik tanpa mampu mengembangkan apa yang diperolehnya ke arah yang lebih luas. Di samping itu, yang paling parah adalah kreatifitas dan produktifitas anak didik yang diharapkan dapat berkembang setelah pembelajaran berlangsung menjadi tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Pada hal mestinya, secara filosofis ketika seseorang telah selesai mengalami proses pembelajaran maka dia akan cenderung produktif dan kreatif. Hal ini dimungkinkan karena ia memiliki kebebasan untuk menemukan dan mengembangkan pengetahuan dari berbagai sumber belajar, bukan hanya dari buku-buku pelajaran. Oleh karena itu, dalam pembelajaran perlu dikembangkan pendekatan pembelajaran kontekstual. Sehingga dengan pendekatan ini diharapkan, peserta didik akan memiliki kekayaan dalam hal sumber belajar.
Lantas pembelajaran seperti apa yang ideal dalam rangka mencetak sumber daya manusia yang kreatif, produktif dan inofatif?. Jika merujuk pada apa yang dikatakan Nitko, A.J. & Brookhart S.M. (2007: 18) bahwa,Instruction is the process you use to provide students with the conditions that help them achieve the learning targets”, maka pembelajaran harus didesain sebagai proses yang dapat mengarahkan siswa dan sekaligus sebagai proses yang memfasilitasi siswa dalam mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Pernyataan ini juga mengisyaratkan bahwa pembelajaran merupakan proses komunikatif-interaktif guru, siswa, dan sumber belajar yaitu saling bertukar informasi. Tiga komponen ini merupakan satu kesatuan sehingga pembelajaran dapat terlaksana dengan baik, sebagai tujuan tercapainya ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian, proses pembelajaran di kelas merupakan sarana untuk membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana untuk belajar. Di sinilah, bagaimana guru sebagai intelektual penting dalam pembelajaran menggagas lahirnya pembelajaran aktif yang dapat mendorong siswa untuk mengembangkan potensi dan mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan secara aktif melalui pengalaman dan interaksinya sesama siswa dan lingkungan sekitar.
Jadi, tugas guru dalam paradigma pembelajaran aktif adalah bagaimana menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Pembelajaran dikelas harus dikelola dan diselenggarakan dengan pendekatan pendidikan “andragogy”. Knowlis sebagaimana dikutip oleh Wiliam F. O’neil (2002: xviii) menjelaskan bahwa andragogy atau pendekatan pendidikan orang dewasa merupakan pendekatan yang menempatkan peserta didik sebagai orang dewasa. Di balik pengertian ini, Knowles ingin menempatkan murid sebagai subjek dari sistem pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai fasilitator dan bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid bersifat “multicomunication” (Knowles, 1970).
Guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang mampu membangun tradisi dan budaya ilmiah yang dapat memberikan ruang kebebebasan kepada anak didik untuk mengembangkan struktur berpikir rasional dan penalaran spekulatif dalam mencari dan menemukan kebenaran di alam semesta, tentunya tanpa menampikkan kebenaran obsolut yang bersumber dari sang maha pencipta. Dengan penalaran spekulatif, individu dapat membeda-bedakan hal-hal yang pasti secara metafisis (yang terbukti dengan sendirinya) dari hal-hal yang semata-mata hanya mungkin (probable), harus dibuktikan dulu sebelum dipastikan (Wiliam F. O’’neil, 2002: 633). Dengan pembelajaran semacam ini, pendidikan akan menjadi pubrik besar dari berbagai ilmu pengetahuan sekaligus menjadi tempat lahirnya para ilmuan yang ilmiah dan ilmuan yang amaliah.
Selanjutnya, hal terpenting yang harus dikembangkan pula dan dibudayakan dalam praksis pembelajaran adalah kesadaran bahwa ”non scolae sed vitae discimus” artinya kita belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk kehidupan. Kesadaran ini penting, sebab pada prinsipnya manusia menuntut ilmu bukan semata-mata untuk sekolah melainkan lebih dari itu, baaimana kemudian ilmu yang diperoleh tersebut mejadi bermakna baik bagi dirinya, keluarga, lingkungan, masyarakat, bangsa dan negaranya.

C.   Pembelajaran Aktif: Teori dan Aplikasinya
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berangkat dari kesadaran filsafat ini, maka seyogyanya pembelajaran harus didesain untuk menumbuh kembangkan pembelajaran yang mendorong adrenalin keingintahuan peserta didik, bukan sebaliknya. Sebab jika sebaliknya yang terjadi, ilmu bukan saja akan menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Cara efektif untuk menanamkan dan mengembangkan kebermaknaan ilmu pengetahuan bagi peserta didik, mengembangkan sikap kritis, kreatif, inovatif dan produktif adalah melalui penerapan model pembelajaran aktif di ruang-ruang kelas. Salah satu teori yang melandasi model pembelajaran aktif adalah teori kognitif sosial (social kognitif theory). Teori ini menyatakan bahwa faktor-faktor sosial dan kognitif, serta perilaku memainkan peranan penting dalam pembelajaran (Santrock, 2009: 323). Teori ini mendeskripsikan manusia sebagai organisme yang dinamis dalam memproses informasi dan sebagai organisme sosial. Faktor-faktor kognitif meliputi harapan siswa untuk berhasil; faktor-faktor sosial juga meliputi pengamatan siswa terhadap perilaku pencapaian orang tua mereka. Teori kognitif sosial merupakan acuan paling penting dalam penerapan pembelajaran di kelas.
Albert Bandura merupakan arsitek utama dari teori kognitif sosial. Ia mengatakan bahwa ketika siswa belajar, mereka secara kognitif dapat mewakili atau mengubah pengalaman mereka (Santrock, 2009: 323). Bandura mengembangkan sebuah model determinisme timbal balik yang disebut dengan determinisme resiprokal terdiri atas tiga faktor utama: perilaku, lingkungan dan orang (kognitif). Gambar di bawah memperlihatkan interaksi antara orang, lingkungan dan perilaku diberbagai setting belajar. Faktor-faktor sosial seperti model/panutan, strategi pembelajaran, atau umpan balik (elemen-elemen lingkungan untuk siswa) dapat mempengaruhi faktor personal siswa, seperti tujuan, sense of afficacy untuk suatu tugas, atribusi (keyakinan tentang penyebab kesuksesan dan kegagalan) dan proses-proses regulasi diri seperti merencanakan, memonitor/memantau dan mengontrol distraksi.
Sebagai contoh umpan balik guru dapat membuat siswa menetapkan tujuan yang lebih tinggi. Pengaruh sosial dilingkungan dan faktor-faktor personal mendorong perilaku yang menghasilkan pencapain seperti persistensi dan usaha (motivasi) serta pembelajaran. Akan tetapi, perilaku-perilaku ini juga berdampak secara resiprokal pada faktor-faktor personal. Sebagai contoh, bila siswa mencapai sesuatu, keyakinan diri dan minatnya meningkat. Perilaku juga mempengaruhi lingkungan sosial. Sebagai contoh bila siswa tidak bertahan atau bila mereka tampak keliru memahami, guru dapat mengubah strategi pembelajaran atau umpan baliknya.

Kemudian, Bandura sebagaimana dikutip oleh Hergenhah & Olson (2008: 383) menyebutkan bahwa agen manusia bukan sekedar kumpulan mekanisme internal yang diatur oleh kejadian lingkungan. Mereka adalah pelaku pengalaman, tidak sekedar mengalami secara pasif. Sistem indra, motor dan otak adalah alat yang dipakai oleh manusia untuk menyelesaikan tugas dan mencapi tujuan yang memberi makna dan kepuasan bagi kehidupan mereka. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor orang/manusia/kognitif memainkan peran penting. Faktor orang/kognitif yang ditekankan oleh Bandura adalah efikasi diri (self-efficasy).
Teori lain yang melandasi pembelajaran aktif adalah Teori Belajar Sociogenesis Vygotsky. Vygotsky sangat percaya bahwa kita dapat belajar dari orang lain, baik yang seumur maupun yang lebih tua dan memiliki tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Berangkat dari keyakinan itu maka Vygotsky mengembangkan teori belajar sociogenesis. Inti dasar dari teori ini seperti yang dijelaskan oleh vygotsky sebagaimana dikutip dalam bukunya Woolfolk (2009: 149) bahwa pengetahuan dikonstruksikan berdasarkan interaksi sosial dan pengalaman. Pengetahuan merefleksikan dunia luar yang disaring melalui dan dipengaruhi oleh budaya, bahasa, keyakinan, interaksi dengan orang lain, pengajaran langsung, dan modeling. Oleh karena itu, teori ini banyak menyandarkan diri pada interaksi sosial dan konteks kultural untuk menjelaskan pembelajaran.
Berpijak pada konsep zona perkembangan proksimal yang dikemukakan oleh Vygotsky, sebelum terjadi internalisasi dalam diri anak, atau sebelum kemampuan intramental terbentuk, anak perlu dibantu dalam proses belajarnya. Orang dewasa dan/atau teman sebaya yang lebih kompeten perlu membantu dengan berbagai cara seperti memberikan contoh, memberikan feedback, menarik kesimpulan, dan sebagainya dalam rangka pengembangan kemampuannya. Disinilah peran guru, orang dewasa dan teman sebaya mengemuka di dalam belajar anak dalam arti bahwa mereka dapat membantu membawa pengetahuan anak ke tingkat yang lebih tinggi dengan ikut campur di dalam zona proximal development (Muijs & Reynolds 2006: 17).
Berdasarkan pada teori Vygotsky di atas, siswa akan memperoleh keuntungan jika:
a.  Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.
b.  Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada tingkat perkembangan aktualnya.
c.  Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya dari pada kemampuan intramentalnya.
d.  Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dimilikinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat digunakan untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah.
e.  Proses belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan kokonstruksi, yaitu suatu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.  

D.   Penutup
Melalui beberapa pendekatan pembelajaran seperti ilustrasi di atas maka konsep penemuan kebenaran melalui pelibatan siswa dalam kegiatan berpikir secara holistik akan dapat diwujudkan secara maksimal. Implikasinya kemudian, akan lahir perserta didik yang kreatif, inovatif dan tentunya juga memiliki ketajaman analisis yang baik sebagai fondasi dalam melakukan kajian-kajian terhadap berbagai persoalan ditinjau dari disiplin ilmu yang dikuasainya. Inilah out put dari pembelajaran yang dikehendaki. Model pembelajaran tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembelajaran dari teacher center ke student center yang menghendaki bahwa anak didik harus mampu menemukan makna dibalik berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh, yang selanjutnya dia dapat menemukan relevansi antara ilmu yang diperoleh dengan pengalaman nyata yang dirasakan dan dialaminya dalam kehidupan. Sebagian besar model pembelajaran dimaksud, memberikan ruang kepada anak didik untuk membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar