A. Pendahuluan
Sampai saat ini, pendidikan khususnya pendidikan formal masih
diyakini sebagai sarana yang efektif untuk membudayakan berbagai nilai, sikap
dan keterampilan yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Berbagai krisis
manusia moderenpun seperti krisis moral, krisis nilai, krisis kepercayaan,
krisis keteladanan, krisis ilmu pengetahuan dan yang paling krusial adalah
krisis kreatifitas dalam melakukan inovasi-inovasi baru pada berbagai bidang
kehidupanpun diyakini dapat diatasi melalui penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan kreatifitasnya.
Keyakinan ini tentunya dilandaskan pada adogium bahwa setiap generasi tentunya
ingin mewariskan sesuatu kepada generasi penerusnya. Sesuatu itu menurut Ali
Imron (2008: 3) dapat berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai.
Keyakinan yang sama juga disampaikan oleh Durkheim sebagaimana dikutip oleh
George Ritzer dalam bukunya Sociological
Theory (2004: 115) yang menyatakan bahwa pendidikan akan memberi idividu
berbagai disiplin ilmu yang ia butuhkan untuk menghadapi berbagai krisis dalam
hidupnya dan mengendalikan nafsu yang mengancam mereka.
Dengan demikian, pendidikan merupakan proyek kemanusiaan yang
tersusun secara sistematis, terencana dan berkesinambungan. Istilah kemanusiaan
disini secara leksikal bermakna sifat-sifat manusia berperilaku selayaknya
manusia, atau bertindak dalam logika berpikir manusia (Sudarwan Danim, 2003:
2). Sebagai agenda proses kemanusiaan dan pemanusiaan, maka pendidikan yang
baik adalah pendidikan yang mampu mencetak figur-figur yang memiliki dorongan
ingin tahu (coriousity) yang kuat
dalam kaitannya dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, individu
yang memiliki idealisme yang tinggi untuk menata bidang-bidang kehidupan kearah
yang lebih baik, individu-individu yang konsen pada kebenaran,
individu-individu yang memiliki sikap moral yang baik. Apakah tujuan ini dapat
terwujud? Durkheim menjawabnya dengan dialogis bahwa pendidikan akan menolong
anak-anak mengembangkan sikap moral terhadap masyarakat. Bagi Durkheim, ruang
kelas dalam pendidikan formal merupakan masyarakat kecil dan dia meyimpulkan
bahwa kesadaran kolektif akan menciptakan kekuatan yang cukup untuk menanamkan
sikap moral (George Ritzer, 2004: 115). Dengan demikian, hal ini akan
memungkinkan pendidikan untuk hadir dan memproduksi semua elemen
moralitas.
Berangkat dari pemikiran ini kemudian, maka pendidikan sejati
adalah sebuah “Pedagogi Pengharapan” (Friere, 1994: 7). Istilah ini
mengisyaratkan bahwa esensi dari pendidikan adalah bagaimana mengembangkan dan
sekaligus membantu individu-individu untuk mencapai harapan-harapan yang
disemaikan dalam kehidupannya. Untuk kepentingan sebagaimana terurai di atas
maka, pendidikan harus diselenggarakan secara terbuka. Terbuka dalam artian,
melibatkan anak didik secara aktif dalam berbagai proses di dalamnya. Proses
yang dimaksud adalah proses pembelajaran. Pertanyaannya sekarang adalah
bagaimana dengan praksis pembelajaran kita saat ini? apakah prinsip
kebermaknaan, prinsip pelibatan dan prisnsip keterbukaan telah menjadi ciri
khas dari pembelajaran yang dikelola dan diselenggarakan pada ruang-ruang kelas
kita selama ini?
B. Kondisi Pembelajaran Dewasa ini:
Praktek dan Solusi
Pembelajaran kita dewasa ini belum dikelola secara kompetitif
dan inovatif serta aktif mendorong siswa untuk membangun pengetahuan
berdasarkan pengalaman nyata. Padahal, lewat pembelajaran yang kompetitif,
diyakini akan dapat melahirkan manusia-manusia yang memiliki kemampuan
kompetisi pula. Pribadi yang kompetitif disini bukan berarti pribadi yang
egoistik (Tilaar, 2000: 15). Pribadi yang kompetitif disini adalah pribadi yang
inovatif melalui pembudayaan sikap kerja sama. Dengan kerja sama, dapat
dikembangkan kompetisi yang sehat sehingga produk IPTEK yang dihasilkan
berkualitas.
Disamping itu, kondisi ini kemudian semakin diperparah dengan
pembelajaran yang tidak menyentuh aspek
kontekstual masyarakat sekitar. Pembelajaran seolah menjadi materi tersendiri
yang tidak berkesinambung dengan kehidupan keseharian. Materi yang diberikanpun
tidak terintegrasi satu sama lain. Secara logika, bagaimana mungkin belajar
ilmu bumi dengan memisahkan antara fisika, biologi, kimia dan matematika. Atau bagaimana
berharap akan lahir elit politik yang beretika dan berkeadaban sementara dalam
praktek pembelajarannya, anak didik tidak diajak terlibat dalam proses politik
dan demokrasi?. Contoh ril, ketika seorang anak belajar mengenai
tumbuhan, harusnya dia belajar bagaimana proses menanam tanaman, juga
mempelajari proses kapilarisasi, meneliti unsur kimia tanah/hara yang
mempengaruhi perkembangan tanaman, mengamati proses fotosintesa, mengukur tiap
inchi perkembangannya, mempelajari bentuknya, menghapal nama latin dari
bagian-bagian tanaman, menggambar, membuat prakarya dari bagian tanaman,
belajar cycle of life dari tanaman
tersebut, dan sebagainya. Project akhirnya adalah membuat presentasi; entah
berupa unsur tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, mendesain operet mengenai
kehidupan imajinasi tanaman, atau sekedar menceritakan salah satu proses yang
telah mereka pelajari. Menarik bukan? Dari satu tema semua materi dapat
terintegrasi.
Contoh lain misalnya, ketika seorang anak belajar tentang
hukum dan demokrasi pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harusnya
disamping dia belajar tentang teori “namun” dia seharusnya mengalami proses
hukum dan demokratisasi dalam bentuk miniatur kehidupan yang dilandaskan oleh
hukum dan demokrasi di kelas. Hal ini dapat diwujudkan melalui praktek “Role Playing” dan atau “demonstrasi” yang berkaitan dengan
isu-isu hukum dan demokrasi. Di sisi lain, anak didik dapat dihadapkan dengan
situasi nyata, melalui metode penugasan kepada anak didik untuk mereview proses
hukum yang terjadi dilembaga-lembaga hukum yang ada seperti lembaga peradilan
dan kepolisian. Dengan proses pembelajaran seperti tersebut, anak didik akan
memiliki kekayaan teori dan praktek yang terkait dengan hukum dan demokrasi
yang selanjutnya menjadi informasi penting bagi pembentukan pribadi yang sadar
hukum dan demokratis.
Anomali praktek pembelajaran yang terjadi selama ini, menurut
penulis karena asumsi yang dijadikan sebagai platform yang tidak tepat. Meminjam apa yang dikatakan oleh Peter
Sange bahwa pendidikan selama ini dilandasi oleh suatu asumsi dasar yang kini
perlu dipertanyakan kebenarannya. Beberapa asumsi yang kurang tepat tersebut
itu adalah sebagai berikut: Pertama, asumsi
bahwa tujuan pendidikan adalah mempelajari ilmu pengetahuan. Asumsi ini perlu
di review kembali demi kepentingan peserta didik. Untuk sampai kearah ini, maka
dalam praktek pembelajaran harus bersifat konstruktifistik (Constructivism). Artinya memberikan
kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang
hasilnya kemudian diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Dengan dasar ini, pembelajaran harus dikemas menjadi proses
mengkontruksi pengetahuan bukan menerima pengetahuan. Dalam proses
pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif
dalam pembelajaran, siswa menjadi pusat pembelajaran bukan guru (Depdiknas,
2003: 11).
Asumsi kedua, ilmu
pengetahuan terbagi dalam berbagai bidang yang saling terpisah, misalnya matematika, fisika, ekonomi, PKn dan
sebagainya. Dalam pendidikan siswa-siswa ditugaskan untuk mempelajari ilmu-ilmu
tersebut secara terpisah. Mungkin memang benar ilmu pengetahuan terkotak-kotak
atau mungkin kita yang memecah itu sekedar untuk memudahkan memahaminya, namun
perlu diperhatikan bahwa hakikat ilmu pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang
saling terkait. Kemudian, problem kehidupan tidak dapat dipahami secara
terkotak-kotak seperti ilmu pengetahuan yang selama ini ada.
Fenomena alam selalu terkait dengan berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Hujan bukanlah semata-mata fenomena fisika, yaitu perubahan uap
air menjadi butiran air akibat suhu yang dingin. Hujan terkait dengan bidang
kimia, kesehatan, sosial ekonomi dan bahkan pengetahuan agama. Jika siswa SD
belajar menanam bunga atau tumbuhan tertentu dikebun sekolah bukan hanya
terkait dengan pelajaran IPA, tetapi berkenaan dengan pelajaran kesenian,
agama, IPS, PKn dan mungkin juga berkenaan dengan pelajaran matematika. Untuk
itu, sedianya dalam praksis pembelajaran harus dapat membangun keterkaitan dari
berbagai disiplin ilmu tersebut dan membantu anak didik untuk dapat menemukan
relevansi antara ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman praktis
dalam kehidupannya, sehingga dengan proses tersebut maka akan dapat membimbing
anak untuk berpikir holistik (menyeluruh) dalam memecahkan berbagai
persoalan-persoalan yang timbul dalam kehidupannya dengan pendekatan
interdisipliner tentunya. Atau dengan kata lain harus dibudayakan konsep
belajar bermakna (meminjam istilah Jeremi S Bruner) dalam pembelajaran.
Asumsi ketiga, belajar
itu berlangsung di ruang kelas dan bersumber dari buku pelajaran. Implikasi
dari asumsi ini dalam praktek pendidikan dan pembelajaran adalah siswa dikurung
di kelas selama jam pelajaran dan harus mencermati kalimat demi kalimat dalam
buku pelajaran, sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Proses semacam ini
lambat laun akan menghasilkan generasi robot yang hanya berpikir mekanistik
tanpa mampu mengembangkan apa yang diperolehnya ke arah yang lebih luas. Di
samping itu, yang paling parah adalah kreatifitas dan produktifitas anak didik
yang diharapkan dapat berkembang setelah pembelajaran berlangsung menjadi tidak
berkembang sebagaimana yang diharapkan. Pada hal mestinya, secara filosofis
ketika seseorang telah selesai mengalami proses pembelajaran maka dia akan
cenderung produktif dan kreatif. Hal ini dimungkinkan karena ia memiliki
kebebasan untuk menemukan dan mengembangkan pengetahuan dari berbagai sumber
belajar, bukan hanya dari buku-buku pelajaran. Oleh karena itu, dalam
pembelajaran perlu dikembangkan pendekatan pembelajaran kontekstual. Sehingga
dengan pendekatan ini diharapkan, peserta didik akan memiliki kekayaan dalam
hal sumber belajar.
Lantas pembelajaran seperti apa yang ideal dalam rangka
mencetak sumber daya manusia yang kreatif, produktif dan inofatif?. Jika
merujuk pada apa yang dikatakan Nitko, A.J. & Brookhart S.M. (2007:
18) bahwa, “Instruction
is the process you use to provide students with the conditions that help them
achieve the learning targets”, maka pembelajaran harus
didesain sebagai proses yang dapat mengarahkan siswa dan sekaligus sebagai
proses yang memfasilitasi siswa dalam mencapai tujuan belajar yang telah
ditetapkan sebelumnya. Pernyataan ini juga mengisyaratkan bahwa pembelajaran merupakan proses komunikatif-interaktif guru, siswa, dan
sumber belajar yaitu saling bertukar informasi. Tiga komponen ini merupakan
satu kesatuan sehingga pembelajaran dapat terlaksana dengan baik, sebagai
tujuan tercapainya ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian, proses
pembelajaran di kelas merupakan sarana untuk membantu siswa memperoleh
informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, mengekspresikan dirinya,
dan cara-cara belajar bagaimana untuk belajar. Di sinilah, bagaimana guru sebagai intelektual penting dalam pembelajaran
menggagas lahirnya pembelajaran aktif yang dapat mendorong siswa untuk
mengembangkan potensi dan mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan
secara aktif melalui pengalaman dan interaksinya sesama siswa dan lingkungan
sekitar.
Jadi, tugas guru dalam paradigma pembelajaran aktif adalah
bagaimana menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat dalam
suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Pembelajaran dikelas harus dikelola dan diselenggarakan dengan pendekatan
pendidikan “andragogy”. Knowlis
sebagaimana dikutip oleh Wiliam F. O’neil (2002: xviii) menjelaskan bahwa andragogy atau pendekatan pendidikan
orang dewasa merupakan pendekatan yang menempatkan peserta didik sebagai orang
dewasa. Di balik pengertian ini, Knowles ingin menempatkan murid sebagai subjek
dari sistem pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki
kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap
bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan
menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah
sebagai fasilitator dan bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru
dan murid bersifat “multicomunication”
(Knowles, 1970).
Guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang mampu
membangun tradisi dan budaya ilmiah yang dapat memberikan ruang kebebebasan
kepada anak didik untuk mengembangkan struktur berpikir rasional dan penalaran
spekulatif dalam mencari dan menemukan kebenaran di alam semesta, tentunya
tanpa menampikkan kebenaran obsolut yang bersumber dari sang maha pencipta.
Dengan penalaran spekulatif, individu dapat membeda-bedakan hal-hal yang pasti
secara metafisis (yang terbukti dengan sendirinya) dari hal-hal yang
semata-mata hanya mungkin (probable),
harus dibuktikan dulu sebelum dipastikan (Wiliam F. O’’neil, 2002: 633). Dengan
pembelajaran semacam ini, pendidikan akan menjadi pubrik besar dari berbagai
ilmu pengetahuan sekaligus menjadi tempat lahirnya para ilmuan yang ilmiah dan
ilmuan yang amaliah.
Selanjutnya, hal terpenting yang harus dikembangkan pula dan
dibudayakan dalam praksis pembelajaran adalah kesadaran bahwa ”non scolae sed vitae discimus” artinya
kita belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk kehidupan. Kesadaran ini penting,
sebab pada prinsipnya manusia menuntut ilmu bukan semata-mata untuk sekolah
melainkan lebih dari itu, baaimana kemudian ilmu yang diperoleh tersebut mejadi
bermakna baik bagi dirinya, keluarga, lingkungan, masyarakat, bangsa dan
negaranya.
C. Pembelajaran
Aktif: Teori dan Aplikasinya
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai
dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berangkat dari
kesadaran filsafat ini, maka seyogyanya pembelajaran harus didesain untuk
menumbuh kembangkan pembelajaran yang mendorong adrenalin keingintahuan peserta
didik, bukan sebaliknya. Sebab jika sebaliknya yang terjadi, ilmu bukan saja
akan menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
kemanusiaan itu sendiri.
Cara efektif untuk menanamkan dan mengembangkan kebermaknaan
ilmu pengetahuan bagi peserta didik, mengembangkan sikap kritis, kreatif,
inovatif dan produktif adalah melalui penerapan model pembelajaran aktif di
ruang-ruang kelas. Salah satu teori yang melandasi model pembelajaran aktif adalah
teori kognitif sosial (social kognitif theory). Teori ini menyatakan
bahwa faktor-faktor sosial dan kognitif, serta perilaku memainkan peranan
penting dalam pembelajaran (Santrock, 2009: 323). Teori ini mendeskripsikan manusia sebagai
organisme yang dinamis dalam memproses informasi dan sebagai organisme sosial.
Faktor-faktor kognitif meliputi harapan siswa untuk berhasil; faktor-faktor
sosial juga meliputi pengamatan siswa terhadap perilaku pencapaian orang tua
mereka. Teori kognitif sosial merupakan acuan paling penting dalam penerapan
pembelajaran di kelas.
Albert Bandura merupakan arsitek utama dari
teori kognitif sosial. Ia mengatakan bahwa ketika siswa belajar, mereka secara
kognitif dapat mewakili atau mengubah pengalaman mereka (Santrock, 2009: 323).
Bandura mengembangkan sebuah model determinisme timbal balik yang disebut
dengan determinisme resiprokal terdiri
atas tiga faktor utama: perilaku, lingkungan dan orang (kognitif). Gambar di bawah memperlihatkan
interaksi antara orang, lingkungan dan perilaku diberbagai setting belajar. Faktor-faktor sosial seperti model/panutan,
strategi pembelajaran, atau umpan balik (elemen-elemen lingkungan untuk siswa)
dapat mempengaruhi faktor personal siswa, seperti tujuan, sense of afficacy untuk suatu tugas, atribusi (keyakinan tentang
penyebab kesuksesan dan kegagalan) dan proses-proses regulasi diri seperti
merencanakan, memonitor/memantau dan mengontrol distraksi.
Sebagai contoh umpan balik guru dapat membuat siswa
menetapkan tujuan yang lebih tinggi. Pengaruh sosial dilingkungan dan
faktor-faktor personal mendorong perilaku yang menghasilkan pencapain seperti
persistensi dan usaha (motivasi) serta pembelajaran. Akan tetapi,
perilaku-perilaku ini juga berdampak secara resiprokal pada faktor-faktor
personal. Sebagai contoh, bila siswa mencapai sesuatu, keyakinan diri dan minatnya
meningkat. Perilaku juga mempengaruhi lingkungan sosial. Sebagai contoh bila
siswa tidak bertahan atau bila mereka tampak keliru memahami, guru dapat
mengubah strategi pembelajaran atau umpan baliknya.
Kemudian, Bandura sebagaimana dikutip oleh Hergenhah & Olson (2008:
383) menyebutkan bahwa agen manusia bukan sekedar kumpulan mekanisme internal
yang diatur oleh kejadian lingkungan. Mereka adalah pelaku pengalaman, tidak
sekedar mengalami secara pasif. Sistem indra, motor dan otak adalah alat yang
dipakai oleh manusia untuk menyelesaikan tugas dan mencapi tujuan yang memberi
makna dan kepuasan bagi kehidupan mereka. Dalam model pembelajaran Bandura,
faktor orang/manusia/kognitif memainkan peran penting. Faktor orang/kognitif
yang ditekankan oleh Bandura adalah efikasi diri (self-efficasy).
Teori lain yang melandasi pembelajaran aktif adalah Teori Belajar Sociogenesis Vygotsky. Vygotsky sangat
percaya bahwa kita dapat belajar dari orang lain, baik yang seumur maupun yang
lebih tua dan memiliki tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Berangkat dari
keyakinan itu maka Vygotsky mengembangkan teori belajar sociogenesis. Inti dasar dari teori ini seperti yang dijelaskan
oleh vygotsky sebagaimana dikutip dalam bukunya Woolfolk (2009: 149) bahwa
pengetahuan dikonstruksikan berdasarkan interaksi sosial dan pengalaman.
Pengetahuan merefleksikan dunia luar yang disaring melalui dan dipengaruhi oleh
budaya, bahasa, keyakinan, interaksi dengan orang lain, pengajaran langsung,
dan modeling. Oleh karena itu, teori ini banyak menyandarkan diri pada
interaksi sosial dan konteks kultural untuk menjelaskan pembelajaran.
Berpijak pada konsep
zona perkembangan proksimal yang dikemukakan oleh Vygotsky, sebelum terjadi
internalisasi dalam diri anak, atau sebelum kemampuan intramental terbentuk,
anak perlu dibantu dalam proses belajarnya. Orang dewasa dan/atau teman sebaya
yang lebih kompeten perlu membantu dengan berbagai cara seperti memberikan
contoh, memberikan feedback, menarik
kesimpulan, dan sebagainya dalam rangka pengembangan kemampuannya. Disinilah
peran guru, orang dewasa dan teman sebaya mengemuka di dalam belajar anak dalam
arti bahwa mereka dapat membantu membawa pengetahuan anak ke tingkat yang lebih
tinggi dengan ikut campur di dalam zona
proximal development (Muijs & Reynolds 2006: 17).
Berdasarkan pada teori
Vygotsky di atas, siswa akan memperoleh keuntungan jika:
a. Anak memperoleh kesempatan yang
luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui
belajar dan berkembang.
b. Pembelajaran perlu lebih
dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada tingkat
perkembangan aktualnya.
c. Pembelajaran lebih diarahkan pada
penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya dari pada
kemampuan intramentalnya.
d. Anak diberi kesempatan yang luas
untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dimilikinya dengan
pengetahuan prosedural yang dapat digunakan untuk melakukan tugas-tugas dan
memecahkan masalah.
e. Proses belajar dan pembelajaran
tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan kokonstruksi, yaitu suatu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna
baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.
D. Penutup
Melalui beberapa pendekatan pembelajaran seperti ilustrasi di
atas maka konsep penemuan kebenaran melalui pelibatan siswa dalam kegiatan
berpikir secara holistik akan dapat diwujudkan secara maksimal. Implikasinya
kemudian, akan lahir perserta didik yang kreatif, inovatif dan tentunya juga
memiliki ketajaman analisis yang baik sebagai fondasi dalam melakukan
kajian-kajian terhadap berbagai persoalan ditinjau dari disiplin ilmu yang
dikuasainya. Inilah out put dari pembelajaran yang dikehendaki. Model pembelajaran tersebut
sejalan dengan pergeseran paradigma pembelajaran dari teacher center ke student center yang menghendaki bahwa
anak didik harus mampu menemukan makna dibalik berbagai ilmu pengetahuan yang
diperoleh, yang selanjutnya dia dapat menemukan relevansi antara ilmu yang
diperoleh dengan pengalaman nyata yang dirasakan dan dialaminya dalam
kehidupan. Sebagian besar model pembelajaran dimaksud, memberikan ruang kepada
anak didik untuk membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar