Selamat Datang


widgets

Selasa, 05 Agustus 2014

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN



A. Hakikat Belajar.
Belajar diartikan sebagai aktivitas untuk memperoleh dan membangun pengetahuan. Belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan dan sikap. Kemampuan orang untuk belajar menjadi ciri penting yang membedakan jenisnya dari jenis-jenis makhluk yang lain. Aktivitas belajar sangat terkait dengan proses pencarian ilmu atau sebagai penambahan, perluasan, dan pendalaman pengetahuan, nilai dan sikap serta keterampilan. Secara konseptual, Fontana, (1981: 8) mengartikan belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman. Dengan kata lain, belajar dapat dikatakan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Pengertian ini menekankan bagaimana produk akhir dari belajar adalah perubahan cara berpikir yang menjelma dalam bentuk tingkah laku.


Gagne (1985: 2) juga menyatakan bahwa belajar adalah suatu perubahan dalam kemampuan yang bertahan lama dan bukan berasal dari proses pertumbuhan. Penekanan pada kemampuan sebagai hasil belajar yang bertahan lama oleh Gagne ini mengindikasikan bahwa proses belajar itu sendiri merupakan sebuah proses yang aktif. Sebuah proses yang mensyaratkan agar melibatkan berbagai sumber dan multi pendekatan sehingga kemampuan yang diperoleh dari hasil belajar dapat bertahan lama. Robbins & Timothy (2009: 88) menyatakan bahwa belajar berkenaan dengan perubahan. Perubahan tersebut bersumber dari dalam diri individu yang belajar. Perubahan yang dimaksud dapat berbentuk perubahan kearah yang lebih baik maupun kearah yang lebih buruk. Jadi, setiap output baik bersifat negatif maupun yang positif yang diperoleh dari hasi belajar tetap dipandang sebagai perubahan. Namun demikian, perubahan kearah yang lebih baik dan bernilai positiflah yang diharapkan dari hasil belajar.
Wragg, (1994: 31) mengemukakan beberapa ciri umum kegiatan belajar, diantaranya adalah (1) belajar menunjukkan suatu aktivitas pada diri seseorang yang disadari atau disengaja; (2) belajar merupakan interaksi individu dengan lingkungannya; dan (3) hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku. Pendapat ini sejalan dengan Bower dan Hilgard, (1981: 11) yang menyatakan bahwa Learning refers to the change in a subject’s behavior or behavior potential to a given situation brought about by the subject’s repeated experiences in that situation, provided that the behavior change cannot be axplained on the basis of the subject’s native response tendencies, maturation, or temporary states (such as fatigue, drunkenness, drives and so on. Pendapat ini memberikan penekanan bahwa belajar berkenaan dengan perubahan perilaku atau potensi individu sebagai hasil dari pengalaman dan perubahan tersebut tidak disebabkan oleh insting, kematangan atau kelelahan dan kebiasaan.
Belajar merupakan suatu proses yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Penekanan ini membawa konsekuensi bahwa belajar tidak selalu sebagai hasil pembelajaran. Namun individu dapat belajar dimana saja dan kapan saja. Oleh karena demikian, belajar merupakan proses yang kompleks. Hal ini ditegaskan oleh Duffy & McDonald (2010: 28) yang menyatakan bahwwa, Learning is a complex activity that can be explained differently depending on one’s perspective on how and why people do what they do. Belajar adalah sebuah aktivitas yang kompleks yang dapat dijelaskan secara berbeda tergantung perspektif seseorang tentang bagaimana dan mengapa berbuat apa yang mereka lakukan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kompleksitas belajar sebagai sebuah proses sangat tergantung pada perspektif masing-masing individu memandang masalah belajar. Namun satu hal yang perlu disepakati bahwa belajar yang baik, manakala proses itu dialami peserta didik sendiri. Dimyati dan Mudjiono (1999: 7) mengemukakan siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan amat tergantung pada proses belajar dan mengajar yang dialami siswa dan pendidik baik ketika para siswa itu disekolah maupun dilingkungan keluarganya sendiri.
Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar setiap individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah : (1) kognitif, kemampuan yang bekenaan dengan pengetahuan, pemahaman, penerapan, analysis, sintesis dan evaluasi; (2) afektif, kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian, sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup; dan (3) psikomotorik, kemampuan yang mengutamakan keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing dan kreatifitas.
Menurut Gagne dalam Syaiful Sagala, (2010: 16), belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu (1) kondisi eksternal, yaitu stimulus dari lingkungan; (2) kondisi internal, yang menggambarkan keadaan internal dan proses kognitif siswa; dan (3) hasil belajar, yang menggambarkan informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap dan siasat kognitif. Kondisi internal ini berinteraksi dengan kondisi eksternal belajar, dan dari interaksi tersebut tampaklah hasil belajar. Lebih lanjut, Gagne (1975), ada tiga tahapan dalam belajar, yaitu : (1) persiapan untuk belajar dengan melakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan dan mendapatkan kembali informasi; (2) pemerolehan dan unjuk perbuatan yang digunakan untuk persepsi selektif, sandi semantik, pembangkitan kembali, respon dan penguatan; serta (3) alih belajar yaitu pengisyaratan untuk membangkitkan dan memberlakukan secara umum, (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 13).
Hal yang perlu diperhatikan dari hubungan fase belajar dan acara pembelajaran ini adalah guru masih harus menyesuaikan diri dengan materi/bidang studi dan kondisi kelas yang sebenarnya, guru dapat memodifikasi seperlunya. Robert M. Gagne, (1975) mengemukakan delapan tipe belajar yang membentuk suatu hierarkhi dan paling sederhana sampai paling kompleks, yaitu : (1) belajar isyarat; (2) belajar hubungan stimulus respon); (3) belajar menguasai rantai; (4) belajar hubungan verbal; (5) belajar membedakan; (6) belajar konsep-konsep; (7) belajar aturan atau hukum-hukum; dan (8) belajar memecahkan masalah (problem solving), (Nasution, 2000: 140).
Dryden dan Voss (1999: 136 ) mengatakan bahwa belajar akan efektif jika suasana pembelajarannya menyenangkan. Seseorang yang secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya memerlukan dukungan suasana dan fasilitas belajar yang maksimal. Suasana yang menyenangkan dan tidak diikuti suasana tegang sangat baik untuk membangkitkan motivasi untuk belajar. Anak-anak pada dasarnya belajar paling efektif pada saat mereka sedang bermain atau melakukan sesuatu yang mengasyikkan. Pandangan yang sama, DePorter (2000: 23) mengemukakan bahwa studi-studi menunjukkan siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang serta ramah, dan mereka memiliki peran di dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kita belajar 10% dari yang kita baca, 20% dari yang kita dengar, 30% dari yang kita lihat, 50% dari yang kita lihat dan dengar, 70% dari yang kita ucapkan, dan 90% dari yang kita ucapkan dan kerjakan (Dryden & Voss, 2000: 79). Artinya belajar paling efektif jika dilakukan secara aktif oleh individu tersebut.

B. Hakikat Pembelajaran.
Keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran diperoleh dengan memahami fakta-fakta bukan dengan menghafal fakta-fakta. Suatu program pembelajaran seharusnya memungkinkan terciptanya suatu lingkungan yang memberi peluang untuk proses berlangsungnya proses belajar yang efektif. Belajar efektif dimaksud adalah proses dimana peserta didik memperoleh pengalaman yang bermakna melalui aktifitas membangun pengetahuan secara aktif yang difasilitasi oleh guru secara terencana, terukur dan sistematis. Oleh karena itu, keberhasilan suatu program pengajaran diukur berdasarkan tingkat perbedaan cara berpikir, merasa dan berbuat para peserta didik sebelum dan sesudah memperoleh pengalaman-pengalaman belajar dalam menghadapi situasi yang serupa, bukan diukur sejauh mana peserta didik menguasai hafalan-hafalan materi yang disajikan dengan menggunakan parameter berupa nilai atau angka-angka.
Pada setiap pembelajaran, guru harus memahami hakekat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pembelajaran yang matang. Pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Peembelajaran perlu dirancang sedemikian rupa sehingga hasil belajar akan maksimal. Pentingnya perencanaan dalam pembelajaran ini ditegaskan oleh Duffy & McDonald (2010: 55) yang menyatakan bahwa “Intructional planning is required at every level of education from kindergarten through college level. many tools and templates have been developed to help teachers plan”. Artinya perencanaan pembelajaran diperlukan pada setiap tingkat pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai tingkat perguruan tinggi. berbagai perangkat dan tujuan telah dikembangkan untuk membantu guru merencanakan pembelajaran. Guru dalam merencanakan pembelajaran perlu adanya suatu pemaknaan terhadap belajar.
Nitko, A.J. & Brookhart S.M. (2007: 18) menyatakan: “Instruction is the process you use to provide students with the conditions that help them achieve the learning targets”. Pembelajaran adalah proses yang anda gunakan untuk mengarahkan siswa dengan kondisi yang membantu mereka mencapai tujuan belajar. Tujuan belajar yang dimaksud jika merujuk pada pendapatnya Bloom terdiri dari tiga domain yaitu domain kognitif, afektif dan domain psikomotorik. Selanjutnya Hamilton & Elizabeth (1994: 9) mengatakan bahwa pembelajaran merupakan perubahan dalam pengetahuan atau perilaku, perubahan ditimbulkan oleh pembelajaran relatif permanen dan pembelajaran timbul dari pengalaman sebelumnya. Kimbles (Hergenhahn & Olson, 1997: 6-7) memberikan defenisi bahwa “learning is a realitivively permanent change in behavior or in behavioral potentiality that results experience and cannot be attributed to temporaly body states such as those by illnes, fatigue or drugs. Pendapat ini menekankan bahwa pembelajaran adalah perubahan perilaku yang relatif permanen yang diperoleh dari pengalaman. Sejalan dengan itu, Hergenhahn & Olson (1997: 7) memberikan defenisi tentang pembelajaran bahwa pembelajaran adalah proses yang menghasilkan perubahan perilaku yang relatif permanen yang diperoleh dari pengalaman.
Merujuk pada pendapat di atas, mka pelaksanaan proses pembelajaran dikelas, menurut Dunkin dan Biddle (1974: 38) berada pada empat variabel interaksi yaitu ; (1) variabel pertanda (presage variables); (2) variabel konteks (context variables) berupa peserta didik, sekolah dan masyarakat; (3) variabel proses (process variables) berupa interaksi peserta didik dengan pendidik; dan (4) variabel produk (product variables) berupa perkembangan peserta didik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lebih lanjut,  Dunkin dan Biddle (1974: 38) mengatakan bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik, jika pendidik mempunyai dua kompetensi utama, yaitu (1) kompetensi substansi materi pembelajaran atau penguasaan materi pelajaran; dan (2) kompetensi metodologi pembelajaran. Artinya, jika guru menguasai materi pelajaran, diharuskan menguasai metode pengajaran sesuai dengan kebutuhan materi ajar yang mengacu pada prinsip pedagogik (memahami karakteristik peserta didik).
Kegiatan pembelajaran yang diprogramkan guru/dosen merupakan kegiatan integralistik antara pendidik dengan peserta didik. Kegiatan pembelajaran secara metodologis berakar dari pihak pendidik yaitu guru/dosen dan kegiatan belajar secara pedagogis terjadi pada diri peserta didik. Menurut Knirk dan Gustafson, (1986: 15) pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap perancangan, pelaksanaan dan evaluasi. Pembelajaran tidak terjadi seketika, melainkan sudah melalui tahapan perancangan pembelajaran.
Keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan adanya strategi dan model pembelajaran yang akan diciptakan. Strategi pembelajaran harus diciptakan sedemikian rupa sehingga peserta didik merasa termotivasi untuk menerima pelajaran. Demikian juga dengan model pembelajaran harus tepat yang disesuaikan dengan materi yang akan disajikan dan tidak monoton. Menurut Dick and Carrey (1985) menyebutkan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa. Sebelum guru menentukan strategi pembelajaran, metode dan teknik-teknik evaluasi yang akan dipergunakan, maka guru/dosen terlebih dahulu dituntut untuk memahami karakteristik peserta didik dengan baik. Hal ini dikarenakan dari hasil sejumlah riset menunjukkan bahwa keberagaman faktor, seperti sikap, kemampuan dan gaya belajar, pengetahuan serta kemampuannya serta konteks pembelajaran merupakan komponen yang memberikan dampak sangat penting terhadap apa yang sesungguhnya harus peserta didik pelajari, (Killen, 1998: 5).
Agar aktivitas yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran terarah pada upaya peningkatan potensi siwa secara komprehensip, maka pembelajaran harus dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar, yang bertolak dari kebutuhan internal siswa untuk belajar. Davies (1991: 32) mengingatkan beberapa hal yang dapat dijadikan kerangka dasar bagi penerapan prinsip-prinsip belajar dalam proses pembelajaran, yaitu : (1) hal apapun yang dipelajari murid, maka ia harus mempelajarinya sendiri; (2) setiap murid belajar menurut kecepatannya sendiri dan untuk setiap kelompok umur, terdapat variasi dalam kecepatan belajar; (3) seorang murid belajar lebih banyak bilamana setiap langkah diberikan penguatan (reinforcement); (4) penguasaan secara penuh dari setiap langkah-langkah pembelajaran, memungkinkan murid belajar secara lebih berarti; dan (5) apabila murid diberikan tanggug jawab untuk mempelajari sendiri, maka ia lebih termotivasi untuk belajar, dan ia akan belajar dan mengingat lebih baik.
DePorter & Hernacki, (2000: 117) menyebutkan terdapat tiga (3) karakteristik atau modalitas belajar siswa yang perlu diketahui oleh setiap pendidik dalam proses pembelajaran, yaitu : (1) orang-orang yang visual, yang sering ditandai suka mencoret-coret ketika bicara ditelpon, berbicara dengan tepat, lebih suka melihat peta daripada mendengar penjelasan; (2) orang-orang yang auditorial, yang sering ditandai suka berbicara sendiri, lebih suka mendengarkan ceramah atau seminar daripada membaca buku, lebih suka berbicara daripada menulis; dan (3) orang-orang yang kinestetik, yang sering ditandai berpikir lebih baik ketika bergerak atau berjalan, banyak menggerakan anggota badan ketika berbicara, sulit untuk duduk dan diam. Sebelum melaksanakan pembelajaran seorang dosen/guru terlebih dahulu menyiapkan desain pembelajaran yang berisi antara lain : standar kompetensi, kompetensi dasar, pengalaman belajar, strategi, metode, model pembelajaran, evaluasi dan waktu pelaksanaan.
Merujuk pada apa yang disampaikan oleh DePorter & Hernacki menyangkut modalitas belajar tersebut, maka dalam pembelajaran terdapat empat faktor yang mempengaruh sukses atau tidaknya setiap tahapan pembelajaran yaitu : (1) guru, yang merupakan komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran; (2) siswa, merupakan organisme yang unik yang berkembang sesuai dengan tahapan perkembangannya; (3) sarana dan prasarana; dan (4) faktor lingkungan, yang terdiri dari organisasi kelas dan iklim sosial-psikologis.
Berdasarkan konsep-konsep pembelajaran di atas, maka dapat diidentifikasi komponen-komponen pembelajaran sebagai berikut.
1.        Tujuan
Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan suatu kegiatan. Tidak ada suatu kegiatan yang diprogramkan tanpa tujuan, karena hal itu adalah suatu hal yang tidak memiliki kepastian dalam menentukan ke arah mana kegiatan itu akan dibawa.
2.        Bahan pelajaran
Bahan pembelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar. Bahan pembelajaran merupakan unsur inti yang ada di dalam kegiatan belajar mengajar, karena memang bahan pelajaran itulah yang diupayakan untuk dikuasai oleh peserta didik. Segala informasi berupa fakta, prinsip, dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
3.        Kegiatan belajar mengajar
Adalah inti kegiatan dalam pendidikan yang melibatkan semua komponen pembelajaran.
4.        Metode
Adalah suatau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Cara yang teratur untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendapat informasi yang dibutuhkan mereka untuk mencapai tujuan.
5.        Alat
Adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
6.        Sumber pelajaran
Adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pembelajaran terdapat.
7.        Evaluasi
Adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang bersangkutan dengan kapabilitas siswa guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa yang dapat mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar.
Pada bagian lain, keberhasilan proses pembelajaran ditunjukkan dengan terjadinya perubahan sikap dan perilaku serta peningkatan status pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu. Eaton, seperti yang dikutip oleh Snelbecker, (1974: 13) menghendaki bahwa belajar itu bersifat aktif. Belajar merupakan fungsi situasi menyeluruh yang berada di sekitar anak. Belajar itu diarahkan oleh tujuan dan ada dalam hidup dan perbuatan, ada dalam pengalaman dan dalam upaya untuk memahami arti dari pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang belajar maka kita berbicara bagaimana pengetahuan, sikap dan perilaku diubah melalui pengalaman.
Seiring dengan perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru, maka pembelajaran dengan mengedepankan pemberian pengalaman nyata inilah yang harus dikedepankan dalam praktek pembelajaran di sekolah oleh guru. Siswa bukanlah sebuh botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses belajar mengajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa lainnya. “Bahkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya  (peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru” (Anita Lie, 2008: 12).
Guru harus mampu menyiapkan iklim pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik. Pembelajaran yang dimaksudkan adalah upaya menciptakan kondisi dengan sengaja agar tujuan pembelajaran dapat dipermudah (facilitated) pencapaiannya (Eveline Siregar, 2007: 4). Corey (1986) seperti yang dikutip oleh Syaiful Sagala (2008: 61) menjelaskan bahwa pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus.
Jadi, peranan guru bukan semata-mata memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan dan memberi fasilitas belajar (directing and facilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai (Syaiful Sagala, 2008: 61). Oleh karena itu, guru perlu mengetahui kemampuan dasar dan karakteristik yang dimiliki oleh siswa, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang sosial ekonominya dan lain sebagainya. Menurut Gagne (1979) ada lima kemampuan manusia yang merupakan hasil belajar sehingga memerlukan berbagai model dan strategi pembelajaran untuk mencapainya, yaitu : (1) keterampilan intelektual; (2) strategi kognitif; (3) informasi verbal; (4) keterampilan motorik; dan (5) sikap dan nilai, (Depdiknas, 1998/1999: 16). Penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat mendorong tumbuhnya rasa senang peserta didik terhadap pelajaran, menumbuhkan dan meningkatkan motivasi dalam mengerjakan tugas, memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahami pelajaran sehingga memungkinkan siswa mencapai hasil belajar yang lebih baik.
Melalui pemilihan model pembelajaran, guru/dosen dituntut untuk memiliki pemahaman yang komprehensip serta mampu mengambil keputusan yang rasional kapan waktu yang tepat untuk menerapkan salah satu atau beberapa strategi pembelajaran secara efektif, (Killen, 1998: 16). Kecermatan guru didalam menentukan model pembelajaran menjadi semakin penting, karena pembelajaran adalah suatu proses yang kompleks yang didalamnya melibatkan berbagai unsur yang dinamis. Huitt, (2003: 4) mengingatkan meskipun keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran dikelas merupakan hal yang penting, akan tetapi guru harus tetap dapat mengontrol aktivitas perilaku siswa dikelas, mencermati perbedaan-perbedaan antar siswa serta karakteristik masing-masing individu.
Model pembelajaran juga dapat dimaknai sebagai perangkat rencana atau pola yang dapat dipergunakan untuk merancang bahan-bahan pembelajaran serta membimbing aktivitas pembelajaran dikelas. Brady (1985: 7), mengemukakan bahwa model pembelajaran dapat diartikan sebagai blueprint yang dapat dipergunakan untuk membimbing guru di dalam mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran.

C. Desain Pembelajaran Aktif.
Pembelajaran sebagai proses untuk menyediakan iklim yang kondusif bagi peserta didik agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, perlu direncanakan secara matang dan berkesinambungan serta dapat dievaluasi pelaksanaannya. Dalam buku ini, istilah yang digunakan untuk mewakili kata perencanaan pembelajaran adalah istilah “Desain Pembelajaran”. Desain Pembelajaran diartikan sebagai suatu proses merupakan pengembangan komponen pembelajaran secara spesifik dan sistematis berdasarkan teori-teori belajar dan pengajaran untuk menentukan kualitas pembelajaran (Anglin, 1991; Ibrahim dan Syaodih, 1993).
Selanjutnya, istilah pengembangan sistem instruksional (instruksional system development) dan desain instruksional (instrucsional design) sering dianggap sama, atau setidak-tidaknya tidak dibedakan secara tegas dalam penggunaannya, meskipun menurut arti katanya ada perbedaan antara “desain” dan “pengembangan”. Kata “desain” berarti membuat sketsa atau pola atau outline atau rencana pendahuluan. Sedang “Pengembangan” berarti membuat tumbuh secara teratur untuk menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih efektif dan sebagainya (Harjanto, 2008: 95).
Beberapa definisi yang menunjukkan persamaan antara keduanya adalah sebagai berikut :
1.    Pengembangan sistem intruksional adalah suatu proses secara sistematis dan logis untuk mempelajari problem-problem pembelajaran, agar mendapatkan pemecahan yang teruji validitasnya dan   praktis bisa  dilaksanakan (Ely, 1979: 4).
2.    Sistem Intruksional adalah semua materi pelajaran dan metode yang telah diuji dalam praktek yang dipersiapkan untuk mencapai tujuan dalam keadaan senyatanya (Baker, 1971: 16). Dengan kata lain bahwa sistem intruksional merupakan tatanan aktifitas belajar mengajar.
3.    Desain intruksional adalah keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan tekhnik mengajar dan materi pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Termasuk di dalamnya adalah pengembangan paket pembelajaran, kegiatan mengajar, uji coba, revisi dan kegiatan mengevaluasi hasil belajar (Briggs, 1979: 20).
4.    Desain sistem instruksional ialah pendekatan secara sistematis dalam perencanaan dan pengembangan sarana serta alat untuk mencapai kebutuhan dan tujuan intruksional. Semua konsep sistem ini (tujuan, materi, metode, media, alat, evaluasi) dalam hubungannya satu sama lai dipandang sebagai kesatuan yang teratur sistematis. Komponen-komponen tersebut lebih dahulu diuji coba efektifitasnya sebelum disebarluaskan penggunaannya (Briggs, 1979: XXI).
5.    Pengembangan sistem intruksional adalah suatu proses menentukan dan menciptakan situasi dan kondisi tertentu yang menyebabkan siswa dapat berinteraksi sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan di dalam tingkah lakunya (Carrey 1977: 6).
Dari pandangan di atas secara umum dapat dijelaskan bahwa desain pembelajaran atau desain instruksional menggambarkan program pembelajaran dalam satuan-satuan tertentu yang berisi antara lain: standar kompetensi, kompetensi dasar mata pelajaran, materi pokok, kegiatan belajar mengajar, serta sistem penilaian. Dengan merancang terlebih dahulu apa yang harus dipelajari siswa, diharapkan pembelajaran dapat berfungsi secara efektif dan aktif mendorong siswa membangun pengetahuan melalui pengamalan nyata dan interaksi aktif dengan berbagai sumber belajar yang tersedia (learning resource by utilization) maupun sumber belajar yang secara sengaja dirancang untuk kepentingan pembelajaran (learning resource by design).
Menurut Mukminan (2006: 19) setidaknya terdapat lima asumsi dasar yang mendasari perlunya desain pembelajaran, yaitu: 1) diarahkan untuk membantu proses belajar secara individual, 2) desain pembelajaran mempunyai fase-fase jangka pendek dan jangka panjang, 3) dapat mempengaruhi perkembangan individu secara maksimal, 4) didasarkan pada pengetahuan tentang cara belajar manusia, dan 5) dilakukan dengan menerapkan pendekatan sistem (system approach). Clarence Scahauer (Atwi Suparman, 2001: 29 – 30) menyatakan bahwa “desain pembelajaran sebagai perencanaan secara akal sehat untuk mengidentifikasi masalah belajar dan mengusahakan pemecahan masalah tersebut dengan menggunakan suatu rencana terhadap pelaksanaan, evaluasi, uji coba, umpan balik, dan hasilnya”. Buhl (Atwi Suparman, 2001: 30) memberikan definisi “desain pembelajaran sebagai suatu set kegiatan yang bertujuan meningkatkan kondisi belajar bagi siswa”. Berdasarkan uraian tersebut diperoleh suatu kesimpulan tentang desain pembelajaran, yaitu suatu perencanaan kegiatan yang diperlukan untuk memberikan petunjuk arah pencapaian tujuan belajar tertentu.
Berikut beberapa Model Desain Pembelajaran yang dapat sebagai alternatif untuk mendesain pembelajaran aktif.
1)  Model yang dikembangkan Gagne dan Briggs
Gagne dan Briggs (1974: 212-213) mengemukakan 12 langkah dalam pengembangan desain pembelajaran sebagai berikut :
1.  Analisis dan identifikasi kebutuhan
2.  Penetapan tujuan umum dan khusus
3.  Identifikasi alternatif cara memenuhi kebutuhan
4.  Merancang komponen dari sistem
5.  Analisis (a) sumber-sumber yang diperlukan (b) sumber-sumber yang tersedia (c) kendala-kendala.
6.  Kegiatan untuk mengatasi kendala
7.  Memilih atau mengembangkan materi pelajaran
8.  Merancang prosedur penelitian murid
9.  Uji coba lapangan : evaluasi formatif dan pendidikan guru.
10.Penyesuaian, revisi dan evaluasi lanjut
11.Evaluasi sumatif
12.Pelaksanaan operasional
Model tersebut di atas merupakan model yang paling lengkap yang melukiskan bagaimana suatu proses pembelajaran dirancang secara sistematis dari awal sampai akhir. Kegiatan seperti ini cocok untuk diterapkan pada suatu program pendidikan yang relatif baru. Di Indonesia prosedur tersebut mencakup mulai dari simposium dan pengembangan kurikulum yang dilakukan mulai dari tingkat sekolah (KTSP). Kemudian guru diberikan kewenangan untuk mengembangkan standar kompetensi menjadi sejumlah kompetensi dasar yang dituangkan secara eksplisit dalam silabus dan RPP.
2)  Model Wong dan Roulerson
Wong dan Roulerson (1974) mengemukakan 6 langkah pengembangan desain intruksional yaitu :
1.  Merumuskan tujuan
2.  Menganalisis tujuan tugas belajar
3.  Mengelompokkan tugas-tugas belajar dan memilih kondisi belajar yang tepat.
4.  Memilih metode dan media 
5.  Mensintesiskan komponen-komponen pembelajaran
6.  Melakasanakan rencana, mengevaluasi dan memberi umpan balik.
3)  Model Pengembangan Desain Sistem Intruksional PPSI
PPSI merupakan singkatan dari prosedur pengembangan sistem intruksional. Istilah sistem instruksional mengandung pengertian bahwa PPSI menggunakan pendekatan sistem dimana pembelajaran adalah suatu kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri dari seperangkat komponen yang saling berhubungan dan bekerjasama satu sama lain secara fungsional dan terpadu dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
Dengan demikian PPSI adalah suatu langkah-langkah pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran sebagai suatu sistem dalam rangka untuk mencapai tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien (Harjanto, 2008 : 75).  PPSI sebagai salah satu model pengembangan instruksional pernah digunakan sebagai metode penyampaian pembelajaran dalam kurikulum 1975 untuk SD, SMP dan SMU serta dalam kurikulum 1975 untuk sekolaj kejuruan dalam rangka pembaharuan pendidikan. Model pengembangan intruksional PPSI ini memiliki 5 langkah pokok yaitu :
a.  Merumuskan tujuan instruksional khusus/kompetensi dasar
b.  Mengembangkan alat evaluasi
c.  Menetapkan kegiatan belajar dan materi pelajaran
d.  Merencanakan program kegiatan
e.  Melaksanakan program
1.    Menyelenggarakan pre-test
2.    Menyajikan materi pelajaran
3.    Menyelenggarakan pos tes
4.    Melakukan revisi//perbaikan
4)  Model J.E. Kemp
Menurut Kemp (1977) pengembangan intruksional atau desain pembelajaran itu terdiri dari 8 langkah yaitu :
1.  Menentukan tujuan intruksional umum (TIU) atau Standar Kompetensi.
2.  Menganalisis karakteristik peserta didik
3.  Menentukan TIK atau Kompetensi Dasar.
4.  Menentukan materi pelajaran
5.  Menetapkan penjajagan awal (pre test)
6.  Menentukan strategi belajar mengajar
7.  Mengkoordinasi sarana penunjang, yang meliputi tenaga fasilitas, alat, waktu dan tenaga.
8.  Mengadakan evaluasi
5)  Model Briggs
Pengembangan desain pembelajaran model Briggs ini berorientasi pada rancangan sistem dengan sasaran guru yang bekerja sebagai perancang atau desainer kegiatan intruksional maupun tim pengembang intruksional yang anggotanya meliputi guru, administrator, ahli bidang studi, ahli evaluasi, ahli media, dan perancang intruksional. Model ini juga sesuai untuk pengembangan program-program latihan jabatan tidak hanya terbatas pada lingkungan program-program akademis saja. Dissamping itu, model tersebut dirancang sebagai metodologi pemecahan masalah belajar.
Model pengembangan intruksional Briggs ini bersandarkan pada prinsip keselarasan antara a) tujuan yang akan dicapai, b) strategi untuk mencapainya, dan c) evaluasi keberhasilannya. Langkah pengembangan dimaksud dirumuskan kedalam 10 langkah pengembangan yaitu :
1.  Identifikasi kebutuhan/penentuan tujuan
       Dalam langkah ini, Brigg membaginya menjadi 4 tahapan kegiatan yaitu a) mengidentifikasi tujuan kurikulum secara umum dan luas, b) menentukan prioritas tujuan, c) mengidentifikasi kebutuhan kurikulum baru, dan d) menentukan prioritas remidialnya.
2.  Penyusunan garis besar kurikulum/rincian tujuan kebutuhan instruksional yang telah dituangkan dalam tujuan-tujuan kurikulum tersebut pengujiannya harus dirinci, disusun dan diorganisasi menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik.
3.  Perumusan tujuan
4.  Analisis tugas/tujuan
       Dalam langkah ini perlu diadakan analisis terhadap tiga hal yaitu:
a)    Proses informasi: untuk menentukan tata urutan pemikiran yang logis.
b)    Klasifikasi belajar: untuk mengidentifikasi kondisi belajar yang diperlukan
c)    Tugas belajar: untuk menentukan persyaratan belajar dan kegiatan beajar mengajar yang sesuai.
5.  Penyiapan evaluasi hasil belajar
6.  Menentukan jenjang belajar
7.  Penentuan kegiatan belajar.
       Penentuan strategi pembelajaran ditinjau dari dua segi yaitu a) dari segi guru sebagai perancang kegiatan pembelajaran dan b) menurut tim pengembangan pembelajaran.
8.  Pemantauan bersama
9.  Evaluasi formatif
10.Evaluasi sumatif
6)  Model Gerlach dan Ely
Model pengembangan desain intruksional yang dikembangkan oleh Gerlach dan Ely (1971) ini dimaksudkan untuk pedoman perencanaan mengajar. Menurut Gerlach dan Ely (1971), langkah-langkah dalam pengembangan desain intruksional terdiri dari :
1.  Merumuskan tujuan instruksional
2.  Menentukan isi materi pelajaran
3.  Menentukan kemampuan awal peserta didik
4.  Menentukan teknik dan strategi
5.  Pengelompokan belajar
6.  Menentukan pembagian waktu
7.  Menentukan ruang
8.  Memilih media intruksional yang sesuai
9.  Mengevaluasi hasil belajar
10.Menganalisis umpan balik
7)  Model Bela H. Banathy
Menurut Banathy, secara garis besar pengembangan desain pembelajaran meliputi enam langkah pokok yaitu :
1.  Merumuskan tujuan
2.  Mengembangkan tes
3.  Menganalisis kegiatan belajar
4.  Mendesain sistem intraksional
5.  Melakasanakan kegiatan dan mengetes hasil
6.  Merumuskan tujuan intruksional                 
8)  Model Dick and Carey
Tahapan model pengembangan sistem pembelajaran menurut Dick and Carey (1937 : 1)  dibagi menjadi 10 tahapan. Gambar berikut menunjukkan tahapan model desain pembelajaran dimaksud.

1.  Mengidentifikasi Tujuan Umum Pembelajaran.
Dick and Carrey (1985) mengatakan bahwa tujuan pengajaran adalah untuk menentukan apa yang dapat dilakukan oleh anak didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Tujuan pembelajaran ini perlu dirumuskan secara spesifik, dapat diukur dan jelas, sebab hal ini akan memberikan keuntungan kepada:
a.  Siswa untuk dapat mengatur waktu dan pemusatan perhatian pada tujuan yang ingin dicapai
b.  guru untuk dapat mengatur kegiatan instruksionalnya, motodenya dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.
c.  evaluator untuk dapat menyusun tes sesuai dengan apa yang harus dicapai oleh anak didik.
Kriteria rumusan tujuan pembelajaran
a.  Dick and Carrey (1985): rumusannya harus jelas, dapat diukur dan berbentuk tingkah laku.
b.  Miarso (1984): Rumusannya menggunakan istilah yang operasional, berbentuk hasil belajar, berbentuk tingkah laku, jelas hanya mengukur satu tingkah laku.
c.  Mudhofir (1990): formulasi dalam bentuk yang operasional, bentuk produk belajar, dalam tingkah laku si belajar, jelas tingkah laku yang ingin dicapai, hanya mengandung satu tujuan belajar, tingkat keleluasaan yang dicapai, rumusan tingkah laku jelas dan mencantumkan standar tingkah laku yang dapat diterima.
Komponen-komponen rumusan tujuan pembelajaran (Degeng: 1989, Uno Hamzah: 1993)
a.    Audience
b.    Behavioral
c.    Conditions
d.   Degree.
2.  Melakukan Analisis Pembelajaran.
Analisis pembelajaran ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi keterampilan bawahan (subordinate skills). Jadi, posisi analisis pembelajaran dalam keseluruhan desain pembelajaran merupakan perilaku prasyarat, perilaku yang mennurut proses psikologis muncul lebih dahulu atau secara kronologis terjadi lebih awal, sehingga analisis ini merupakan acuan dasar dalam melanjutkan langkah-langkah desain berikutnya. Dick and Carrey (1985) mengatakan bahwa tujuan pembelajaran yang telah diidentifikasi perlu dianalisis untuk mengenali keterampilan-keterampilan bawahan (subordinate skills) yang mengharuskan anak didik belajar menguasainya dan langkah-langkah prosedural bawahan yang ada harus diikuti anak didik untuk dapat belajar tertentu.
Gagne, Briggs, dan Wager (1988), mengatakan bahwa tujuan analisis pembelajaran adalah untuk menentukan keterampilan-keterampilan yang akan dijangkau oleh tujuan pembelajaran serta memungkinkan untuk membuat keputusan yang diperlukan dalam urutan mengajar. Sementara Atwi Suparman (1991), mengatakan bahwa analisis pembelajaran adalah proses menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun secara logik dan spesifik.
3.  Mengidentifikasi tingkah laku masukan dan karakteristik siswa
Proses ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas perorangan yang dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam mengekspresikan strategi pengelolaan pembelajaran. Aspek-aspek yang perlu diungkap dalam kegiatan ini berupa: bakat, motivasi belajar, gaya belajar, kemampuan berpikir, minat dan kemampuan lainnya.
4.  Merumuskan tujuan khusus/performans.
Menurut Dick and Carrey (1985) menyatakan bahwa tujuan performansi terdiri atas:
a.  tujuan harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik
b.  menyebutkan tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat yang hadir pada waktu anak didik berbuat
c.  menyebutkan kriteria yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada tujuan.
Gagne, Brigs dan Mager menjelaskan bahwa fungsi performansi objektif adalah:
a.    Menyediakan suatu sarana dalam kaitannya dengan pembelajaran untuk mencapai tujuan
b.    Menyediakan suatu sarana berdasarkan suatu kondisi belajar yang sesuai
c.    Memberikan arah dalam mengembangkan pengukuran atau penilaian
d.   Membentu anak didik dalam usaha belajarnya.
5.  Mengembangkan Butir-Butir Tes Acuan Patokan
Tes acuan patokan terdiri atas soal-soal yang secara langsung mengukur istilah patokan yang dideskripsikan dalam suatu perangkap tujuan khusus. Istilah patokan (criterion) dipergunakan karena soal-soal tes merupakan rambu-rambu untuk menentukan kelayakan penampilan siswa pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Bagi seorang perancang pembelajaran harus mengembangkan butir tes acuan patokan, karena hasil tes pengukuran tersebut berguna untuk:
a.       Mendiagnosis dan menempatkannya dalam kurikulum.
b.      Menceking hasil belajar dan menemukan kesalahan pengertian, sehingga dapat diberikan pembelajaran remidial sebelum pembelajaran dilanjutkan.
c.       Menjadi dokumen kemajuan belajar.
Dalam mengembankan butir-butir tes acuan patokan, Dick and Carrey (1985) merekomendasikan 4 (empat)) macam tes acuan patokan yaitu (1) Test entry behaviors merupakan tes acuan patokan untuk mengukur keterampilan sebagaimana adanya pada permulaan pembelajaran, (2) Pretes merupakan tes acuan patokan yang berguna bagi keperluan tujuan yang telah dirancang sehingga diketahui sejauh mana pengetahuan anak didik terhadap tujuan pembelajaran yang telah ditetapkkan. (3) tes sisipan berfungsi (a) mengetes setelah satu atau dua tujuan pembelajaran diajarkan (b) untuk mengetes kemajuan anak didik, sehingga dapat dilakukan perbaikan (remidial) yang dibutuhkan sebelum pascates yang lebih formal. (4) Post Test.
6.  Mengembangkan strategi pembelajaran.
Komponen strategi pembelajaran terdiri atas:
a.     Kegiatan prapembelajaran
b.    Penyajian informasi
c.     Peran serta siswa/mahasiswa
d.    Pengetesan/penilaian/tindak lanjut.
7.  Mengembangkan materi pembelajaran.
Dick and Carey mengatakan bahwa terdapat tiga pola yang dapat diikuti oleh guru/dosen untuk merancang atau menyampaikan pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
a.    Guru/Dosen merancang bahan pembelajaran individual, semua tahap pembelajaran dimasukkan ke dalam bahan, kecuali prates dan pascates.
b.    Guru/Dosen memilih dan mengubah bahan yang ada agar sesuai dengan strategi pembelajaran.
c.    Guru/Dosen tidak memiliki bahan, tetapi menyampaikan semua pembelajaran menurut strategi pembelajaran yang telah disusunnya. Guru/Dosen menggunakan strategi pembelajarannya sebagai pedoman termasuk latihan dan kegiatan kelompok.
8.  Merancang & Mengembangkan Evaluasi Formatif.
Evaluasi ini berfungsi untuk mengumpulkan data bagi perbaikan pembelajaran. Dengan kata lain, karena evaluasi formatif akan ditemukan berbagai kekurangan yang terdapat dalam kegiatan pembelajaran, sehingga kekurangan-kekurangan tersebut dapat diperbaiki. Menurut, Dick and Carrey (1985), ada tiga fase pokok penilaian formatif yaitu (1) fase perorangan atau fase klinis. Pada fase ini perancang bekerja dengan siswa secara perorangan untuk memperoleh data guna penyempurnaan bahan pembelajaran. Data yang dimaksud disini biasanya kesalahan-kesalahan. (2) fase kelompok kecil, yaitu sekelompok kecil siswa yang terdiri dari 8-10 yang merupakan wakil cerminan dari populasi sasaran mempelajari bahan secara mandiri dan kemudian diuji untuk memperoleh data yang diperlukan. (3) fase uji lapangan. Boleh diikuti oleh banyak siswa (minimal 30). Tekanan dalam uji ini adalah pada pengujian prosedur yang diperlukan untuk memberlakukan pembelajaran itu dalam suatu keadaan yang sangat nyata mungkin.
9.    Merevisi Bahan Pembelajaran.
Mengapa revisi bahan pembelajaran diperlukan ? Untuk menyempurnakan bahan pembelajaran sehingga lebih menarik, efektif bila digunakan dalam keperluan pembelajaran, sehingga memudahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam kaitan dengan ini terdapat 2 revisi yang perlu dipertimbangkan yaitu: (1) revisi terhadap isi atau substansi bahan pembelajaran agar lebih cermat sebagai alat belajar. (2) revisi terhadap cara-cara yang dipakai dalam menggunakan bahan pembelajaran.
10.Merancang dan Mengembangkan Evaluasi Summatif
Mengapa perlu dilakukan evaluasi sumatif? karena melalui evaluasi sumatif dapat ditetapkan atau diberikan nilai apakah suatu desain pembelajaran efektif atau efisien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, evaluasi sumatif diarahkan pada keberhasilan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, yang diperlihatkan oleh unjuk kerja siswa.
9)         Model pengembangan desain pembelajaran versi PEKERTI yang dikenal dengan MPI (Model Pengembangan Instruksional) (Atwi Suparman, 2001: 60) meliputi delapan langkah sebagai berikut: a) identifikasi kebutuhan instruksional dan menulis tujuan instruksional umum (TIU). b) melakukan analisis instruksional. c) mengidentifikasi prilaku dan karakteristik awal siswa. d) menulis tujuan instruksional khusus. e) menulis tes acuan patokan. f) menyusun strategi instruksional. g) mengembankan bahan instruksional. h) menyusun desain dan melaksanakan evaluasi formatif. 

Di Indonesia, dari beberapa model yang diuraikan di atas, secara empiris ditemukan bahwa rata-rata dalam mendesain peembelajaran aktif, para praktisi pendidikan seperti guru dan doses seringkali menggunakan model desain Dick and Carrey, Model Gagne dan Briggs, Model Brigs dan model PPPSI. Jika dianalisis, kenapa secara faktual para guru dan atau dosen cenderung menggunakan model desain Dick and Carrey misalnya dikarenakan: (1) Model Dick and Carrey terdiri dari 10 langkah di mana setiap langkah sangat jelas maksud dan tujuannya, sehingga bagi perancang pemula sangat cocok sebagai dasar untuk mempelajari model desain yang lai; (2) kesepuluh langkah pada model Dick and Carrey menunjukkan hubungan yang sangat jelas dan tidak terputus antara langkah yang satu dengan langkah yang lain; (3) langkah awal pada model Dick and Carrey adalah mengidentifikasi tujuan pembelajaran. Langkah ini sangat sesuai dengan kurikulum perguruan tinggi maupun sekolah menengah dan sekolah dasar, khususnya dalam mata pelajaran tertentu dimana tujuan pengajaran pada kurikulum agar dapat melahirkan suatu rancangan pembelajaran.
Selanjutnya, model lain yang sering digunakan di Indonesia adalah Model Desain Pembelajaran dari Briggs. Model ini sering digunakan karena pengembangan desain intruksional model Briggs ini berorientasi pada rancangan sistem dengan sasaran guru/dosen yang bekerja sebagai perancang atau desainer kegiatan intruksional maupun tim pengembang intruksional yang anggotanya meliputi guru, administrator, ahli bidang studi, ahli evaluasi, ahli media, dan perancang intruksional. Model ini juga sesuai untuk pengembangan program-program latihan jabatan tidak hanya terbatas pada lingkungan program-program akademis saja. Di samping itu, model tersebut dirancang sebagai metodologi pemecahan masalah belajar. Model pengembangan intruksional Briggs ini bersandarkan pada prinsip keselarasan antara a) tujuan yang akan dicapai, b) strategi untuk mencapainya, dan c) evaluasi keberhasilannya.
Kemudian, model berikutnya yang dijadikan sebagai model desain pembelajaran di Indonesia adalah model PPSI. PPSI merupakan singkatan dari prosedur pengembangan sistem intruksional. Istilah sistem instruksional mengandung pengertian bahwa PPSI menggunakan pendekatan sistem dimana pembelajaran adalah suatu kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri dari seperangkat komponen yang saling berhubungan dan bekerjasama satu sama lain secara fungsional dan terpadu dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan demikian PPSI adalah suatu langkah-langkah pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran sebagai suatu sistem dalam rangka untuk mencapai tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien (Harjanto, 2008 : 75).  PPSI sebagai salah satu model pengembangan instruksional pernah digunakan sebagai metode penyampaian pembelajaran dalam kurikulum 1975 untuk SD, SMP dan SMU serta dalam kurikulum 1975 untuk sekolaj kejuruan dalam rangka pembaharuan pendidikan.
 
Selanjutnya model terakhir yang ditemukan lagi trend digunakan saat ini adalah model yang dikembangkan oleh Gagne dan Briggs. Sebab, model tersebut merupakan model yang paling lengkap yang melukiskan bagaimana suatu proses pembelajaran dirancang secara sistematis dari awal sampai akhir. Kegiatan seperti ini cocok untuk diterapkan pada suatu program pendidikan yang relatif baru. Di Indonesia prosedur tersebut mencakup mulai dari simposium dan pengembangan kurikulum yang dilakukan mulai dari tingkat sekolah (KTSP). Kemudian guru diberikan kewenangan untuk mengembangkan standar kompetensi menjadi sejumlah kompetensi dasar yang dituangkan secara eksplisit dalam silabus dan RPP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar