A. Hakikat Belajar.
Belajar
diartikan sebagai aktivitas untuk memperoleh dan membangun pengetahuan. Belajar adalah proses orang
memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan dan sikap. Kemampuan orang untuk
belajar menjadi ciri penting yang membedakan jenisnya dari jenis-jenis makhluk
yang lain. Aktivitas belajar sangat terkait dengan proses pencarian ilmu atau
sebagai penambahan, perluasan, dan pendalaman pengetahuan, nilai dan sikap
serta keterampilan. Secara konseptual, Fontana, (1981: 8) mengartikan belajar
adalah suatu proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu
sebagai hasil dari pengalaman. Dengan kata lain,
belajar dapat dikatakan sebagai proses
dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Pengertian ini menekankan bagaimana produk akhir dari
belajar adalah perubahan cara berpikir yang menjelma dalam bentuk tingkah laku.
Gagne (1985: 2) juga menyatakan bahwa belajar adalah suatu
perubahan dalam kemampuan yang bertahan lama dan bukan berasal dari proses
pertumbuhan. Penekanan pada kemampuan sebagai hasil belajar yang bertahan
lama oleh Gagne ini mengindikasikan bahwa proses belajar itu sendiri merupakan
sebuah proses yang aktif. Sebuah proses yang mensyaratkan agar melibatkan
berbagai sumber dan multi pendekatan sehingga kemampuan yang diperoleh dari
hasil belajar dapat bertahan lama. Robbins
& Timothy (2009: 88) menyatakan bahwa belajar berkenaan dengan perubahan. Perubahan tersebut bersumber dari dalam diri
individu yang belajar. Perubahan yang dimaksud dapat berbentuk perubahan kearah
yang lebih baik maupun kearah yang lebih buruk. Jadi, setiap output baik
bersifat negatif maupun yang positif yang diperoleh dari hasi belajar tetap
dipandang sebagai perubahan. Namun demikian, perubahan kearah yang lebih baik
dan bernilai positiflah yang diharapkan dari hasil belajar.
Wragg, (1994: 31) mengemukakan beberapa ciri umum kegiatan
belajar, diantaranya adalah (1) belajar menunjukkan suatu aktivitas pada diri
seseorang yang disadari atau disengaja; (2) belajar merupakan interaksi
individu dengan lingkungannya; dan (3) hasil belajar ditandai dengan perubahan
tingkah laku. Pendapat ini sejalan dengan Bower dan Hilgard, (1981: 11) yang menyatakan bahwa Learning refers to the change in a
subject’s behavior or behavior potential to a given situation brought about by
the subject’s repeated experiences in that situation, provided that the
behavior change cannot be axplained on the basis of the subject’s native
response tendencies, maturation, or temporary states (such as fatigue,
drunkenness, drives and so on. Pendapat ini memberikan
penekanan bahwa belajar berkenaan dengan perubahan perilaku atau potensi
individu sebagai hasil dari pengalaman dan perubahan tersebut tidak disebabkan
oleh insting, kematangan atau kelelahan dan kebiasaan.
Belajar merupakan suatu proses yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya. Penekanan ini membawa konsekuensi bahwa belajar tidak selalu sebagai hasil
pembelajaran. Namun individu dapat belajar dimana saja dan kapan saja. Oleh karena
demikian, belajar merupakan proses yang kompleks. Hal ini ditegaskan oleh Duffy & McDonald (2010: 28) yang menyatakan bahwwa, “Learning is a complex activity that can be explained
differently depending on one’s perspective on how and why people do what they
do”. Belajar adalah sebuah aktivitas yang
kompleks yang dapat dijelaskan secara berbeda tergantung perspektif seseorang
tentang bagaimana dan mengapa berbuat apa yang mereka lakukan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kompleksitas belajar
sebagai sebuah proses sangat tergantung pada perspektif masing-masing individu
memandang masalah belajar. Namun satu hal yang perlu disepakati bahwa belajar yang baik, manakala proses itu dialami peserta
didik sendiri. Dimyati dan Mudjiono (1999: 7) mengemukakan siswa adalah penentu
terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Berhasil atau gagalnya
pencapaian tujuan pendidikan amat tergantung pada proses belajar dan mengajar
yang dialami siswa dan pendidik baik ketika para siswa itu disekolah maupun
dilingkungan keluarganya sendiri.
Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar
setiap individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah : (1) kognitif,
kemampuan yang bekenaan dengan pengetahuan, pemahaman, penerapan, analysis,
sintesis dan evaluasi; (2) afektif, kemampuan yang mengutamakan perasaan,
emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari
kategori penerimaan, partisipasi, penilaian, sikap, organisasi dan pembentukan
pola hidup; dan (3) psikomotorik, kemampuan yang mengutamakan keterampilan
jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing dan kreatifitas.
Menurut Gagne dalam Syaiful
Sagala, (2010: 16), belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu (1)
kondisi eksternal, yaitu stimulus dari lingkungan; (2) kondisi internal, yang
menggambarkan keadaan internal dan proses kognitif siswa; dan (3) hasil
belajar, yang menggambarkan informasi verbal, keterampilan intelek,
keterampilan motorik, sikap dan siasat kognitif. Kondisi internal ini berinteraksi
dengan kondisi eksternal belajar, dan dari interaksi tersebut tampaklah hasil
belajar. Lebih lanjut, Gagne (1975), ada tiga tahapan dalam
belajar, yaitu : (1) persiapan untuk belajar dengan melakukan tindakan
mengarahkan perhatian, pengharapan dan mendapatkan kembali informasi; (2)
pemerolehan dan unjuk perbuatan yang digunakan untuk persepsi selektif, sandi
semantik, pembangkitan kembali, respon dan penguatan; serta (3) alih belajar
yaitu pengisyaratan untuk membangkitkan dan memberlakukan secara umum, (Dimyati
dan Mudjiono, 1999: 13).
Hal yang perlu diperhatikan dari hubungan fase belajar dan
acara pembelajaran ini adalah guru masih harus menyesuaikan diri dengan
materi/bidang studi dan kondisi kelas yang sebenarnya, guru dapat memodifikasi
seperlunya. Robert M. Gagne, (1975) mengemukakan delapan tipe belajar yang
membentuk suatu hierarkhi dan paling sederhana sampai paling kompleks, yaitu :
(1) belajar isyarat; (2) belajar hubungan stimulus respon); (3) belajar
menguasai rantai; (4) belajar hubungan verbal; (5) belajar membedakan; (6)
belajar konsep-konsep; (7) belajar aturan atau hukum-hukum; dan (8) belajar
memecahkan masalah (problem solving), (Nasution,
2000: 140).
Dryden dan Voss (1999: 136 ) mengatakan bahwa belajar akan
efektif jika suasana pembelajarannya menyenangkan. Seseorang yang secara aktif
mengkonstruksi pengetahuannya memerlukan dukungan suasana dan fasilitas belajar
yang maksimal. Suasana yang menyenangkan dan tidak diikuti suasana tegang
sangat baik untuk membangkitkan motivasi untuk belajar. Anak-anak pada dasarnya
belajar paling efektif pada saat mereka sedang bermain atau melakukan sesuatu
yang mengasyikkan. Pandangan yang sama, DePorter (2000: 23)
mengemukakan bahwa studi-studi menunjukkan siswa lebih banyak belajar jika
pelajarannya memuaskan, menantang serta ramah, dan mereka memiliki peran di
dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kita belajar 10% dari yang kita baca, 20% dari yang kita dengar,
30% dari yang kita lihat, 50% dari yang kita lihat
dan dengar, 70% dari yang kita ucapkan,
dan 90% dari yang kita ucapkan dan kerjakan (Dryden &
Voss, 2000: 79). Artinya belajar paling efektif jika dilakukan secara aktif
oleh individu tersebut.
B. Hakikat
Pembelajaran.
Keberhasilan mencapai tujuan
pembelajaran diperoleh dengan memahami fakta-fakta bukan dengan menghafal
fakta-fakta. Suatu program pembelajaran seharusnya memungkinkan terciptanya
suatu lingkungan yang memberi peluang untuk proses berlangsungnya proses belajar
yang efektif. Belajar efektif dimaksud adalah proses dimana peserta didik
memperoleh pengalaman yang bermakna melalui aktifitas membangun pengetahuan
secara aktif yang difasilitasi oleh guru secara terencana, terukur dan
sistematis. Oleh karena itu, keberhasilan suatu
program pengajaran diukur berdasarkan tingkat perbedaan cara berpikir, merasa
dan berbuat para peserta didik sebelum dan sesudah memperoleh
pengalaman-pengalaman belajar dalam menghadapi situasi yang serupa, bukan diukur sejauh mana peserta didik menguasai
hafalan-hafalan materi yang disajikan dengan menggunakan parameter berupa nilai
atau angka-angka.
Pada setiap pembelajaran, guru harus
memahami hakekat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran
yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik dan memahami berbagai
model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan
perencanaan pembelajaran yang matang. Pembelajaran adalah suatu sistem yang
bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian
peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan
mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Peembelajaran perlu dirancang sedemikian rupa sehingga
hasil belajar akan maksimal. Pentingnya perencanaan dalam pembelajaran ini
ditegaskan oleh Duffy
& McDonald (2010: 55) yang menyatakan bahwa “Intructional planning is
required at every level of education from kindergarten through college level.
many tools and templates have been developed to help teachers plan”. Artinya perencanaan pembelajaran diperlukan pada setiap tingkat
pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai tingkat perguruan tinggi.
berbagai perangkat dan tujuan telah dikembangkan untuk membantu guru
merencanakan pembelajaran. Guru
dalam merencanakan pembelajaran perlu adanya suatu pemaknaan terhadap belajar.
Nitko, A.J. & Brookhart S.M. (2007: 18) menyatakan: “Instruction is the process you use to provide students with the
conditions that help them achieve the learning targets”. Pembelajaran
adalah proses yang anda gunakan untuk mengarahkan siswa dengan kondisi yang
membantu mereka mencapai tujuan belajar. Tujuan belajar yang dimaksud jika merujuk pada pendapatnya Bloom terdiri
dari tiga domain yaitu domain kognitif, afektif dan domain psikomotorik. Selanjutnya Hamilton & Elizabeth (1994: 9) mengatakan bahwa
pembelajaran merupakan perubahan dalam pengetahuan atau perilaku, perubahan
ditimbulkan oleh pembelajaran relatif permanen dan pembelajaran timbul dari
pengalaman sebelumnya. Kimbles (Hergenhahn & Olson, 1997: 6-7) memberikan
defenisi bahwa “learning is a
realitivively permanent change in behavior or in behavioral potentiality that
results experience and cannot be attributed to temporaly body states such as
those by illnes, fatigue or drugs. Pendapat ini menekankan bahwa pembelajaran adalah perubahan perilaku yang
relatif permanen yang diperoleh dari pengalaman. Sejalan dengan itu, Hergenhahn & Olson (1997: 7) memberikan defenisi
tentang pembelajaran bahwa pembelajaran adalah
proses yang menghasilkan perubahan perilaku yang relatif permanen yang
diperoleh dari pengalaman.
Merujuk pada pendapat di atas, mka pelaksanaan
proses pembelajaran dikelas, menurut Dunkin dan Biddle (1974: 38) berada pada
empat variabel interaksi yaitu ; (1) variabel pertanda (presage variables); (2) variabel konteks (context variables) berupa peserta didik, sekolah dan masyarakat;
(3) variabel proses (process variables)
berupa interaksi peserta didik dengan pendidik; dan (4) variabel produk (product variables) berupa perkembangan
peserta didik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lebih lanjut, Dunkin dan Biddle (1974: 38) mengatakan bahwa
proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik, jika pendidik mempunyai dua
kompetensi utama, yaitu (1) kompetensi substansi materi pembelajaran atau
penguasaan materi pelajaran; dan (2) kompetensi metodologi pembelajaran.
Artinya, jika guru menguasai materi pelajaran, diharuskan menguasai metode
pengajaran sesuai dengan kebutuhan materi ajar yang mengacu pada prinsip
pedagogik (memahami karakteristik peserta didik).
Kegiatan pembelajaran yang diprogramkan guru/dosen
merupakan kegiatan integralistik antara pendidik dengan peserta didik. Kegiatan
pembelajaran secara metodologis berakar dari pihak pendidik yaitu guru/dosen
dan kegiatan belajar secara pedagogis terjadi pada diri peserta didik. Menurut
Knirk dan Gustafson, (1986: 15) pembelajaran merupakan suatu proses yang
sistematis melalui tahap perancangan, pelaksanaan dan evaluasi. Pembelajaran
tidak terjadi seketika, melainkan sudah melalui tahapan perancangan pembelajaran.
Keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan adanya
strategi dan model pembelajaran yang akan diciptakan. Strategi pembelajaran
harus diciptakan sedemikian rupa sehingga peserta didik merasa termotivasi
untuk menerima pelajaran. Demikian juga dengan model pembelajaran harus tepat
yang disesuaikan dengan materi yang akan disajikan dan tidak monoton. Menurut
Dick and Carrey (1985) menyebutkan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu set
materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk
menimbulkan hasil belajar pada siswa. Sebelum guru menentukan strategi pembelajaran, metode dan
teknik-teknik evaluasi yang akan dipergunakan, maka guru/dosen terlebih dahulu
dituntut untuk memahami karakteristik peserta didik dengan baik. Hal ini dikarenakan
dari hasil sejumlah riset menunjukkan bahwa keberagaman faktor, seperti sikap,
kemampuan dan gaya belajar, pengetahuan serta kemampuannya serta konteks
pembelajaran merupakan komponen yang memberikan dampak sangat penting terhadap
apa yang sesungguhnya harus peserta didik pelajari, (Killen, 1998: 5).
Agar aktivitas yang dilakukan guru dalam proses
pembelajaran terarah pada upaya peningkatan potensi siwa secara komprehensip,
maka pembelajaran harus dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar,
yang bertolak dari kebutuhan internal siswa untuk belajar. Davies (1991: 32)
mengingatkan beberapa hal yang dapat dijadikan kerangka dasar bagi penerapan
prinsip-prinsip belajar dalam proses pembelajaran, yaitu : (1) hal apapun yang
dipelajari murid, maka ia harus mempelajarinya sendiri; (2) setiap murid
belajar menurut kecepatannya sendiri dan untuk setiap kelompok umur, terdapat
variasi dalam kecepatan belajar; (3) seorang murid belajar lebih banyak
bilamana setiap langkah diberikan penguatan (reinforcement);
(4) penguasaan secara penuh dari setiap langkah-langkah pembelajaran,
memungkinkan murid belajar secara lebih berarti; dan (5) apabila murid
diberikan tanggug jawab untuk mempelajari sendiri, maka ia lebih termotivasi
untuk belajar, dan ia akan belajar dan mengingat lebih baik.
DePorter & Hernacki, (2000: 117) menyebutkan terdapat
tiga (3) karakteristik atau modalitas belajar siswa yang perlu diketahui oleh
setiap pendidik dalam proses pembelajaran, yaitu : (1) orang-orang yang visual,
yang sering ditandai suka mencoret-coret ketika bicara ditelpon, berbicara
dengan tepat, lebih suka melihat peta daripada mendengar penjelasan; (2)
orang-orang yang auditorial, yang sering ditandai suka berbicara sendiri, lebih
suka mendengarkan ceramah atau seminar daripada membaca buku, lebih suka
berbicara daripada menulis; dan (3) orang-orang yang kinestetik, yang sering
ditandai berpikir lebih baik ketika bergerak atau berjalan, banyak menggerakan
anggota badan ketika berbicara, sulit untuk duduk dan diam. Sebelum
melaksanakan pembelajaran seorang dosen/guru terlebih dahulu menyiapkan desain
pembelajaran yang berisi antara lain : standar kompetensi, kompetensi dasar,
pengalaman belajar, strategi, metode, model pembelajaran, evaluasi dan waktu
pelaksanaan.
Merujuk pada apa yang disampaikan oleh DePorter
& Hernacki menyangkut modalitas belajar tersebut,
maka dalam pembelajaran terdapat empat
faktor yang mempengaruh sukses atau tidaknya
setiap tahapan pembelajaran yaitu : (1)
guru, yang merupakan komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu
strategi pembelajaran; (2) siswa, merupakan organisme yang unik yang berkembang
sesuai dengan tahapan perkembangannya; (3)
sarana dan prasarana; dan (4) faktor lingkungan, yang terdiri dari organisasi
kelas dan iklim sosial-psikologis.
Berdasarkan konsep-konsep
pembelajaran di atas, maka dapat diidentifikasi komponen-komponen pembelajaran
sebagai berikut.
1.
Tujuan
Tujuan adalah suatu cita-cita
yang ingin dicapai dari pelaksanaan suatu kegiatan. Tidak ada suatu kegiatan
yang diprogramkan tanpa tujuan, karena hal itu adalah suatu hal yang tidak
memiliki kepastian dalam menentukan ke arah mana kegiatan itu akan dibawa.
2.
Bahan
pelajaran
Bahan pembelajaran adalah
substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar. Bahan
pembelajaran merupakan unsur inti yang ada di dalam kegiatan belajar mengajar,
karena memang bahan pelajaran itulah yang diupayakan untuk dikuasai oleh
peserta didik. Segala informasi berupa fakta, prinsip,
dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
3.
Kegiatan
belajar mengajar
Adalah inti kegiatan dalam
pendidikan yang melibatkan semua komponen pembelajaran.
4.
Metode
Adalah suatau cara yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Cara yang teratur untuk memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mendapat informasi yang dibutuhkan mereka untuk mencapai tujuan.
5.
Alat
Adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
6.
Sumber
pelajaran
Adalah segala sesuatu yang dapat
dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pembelajaran terdapat.
7.
Evaluasi
Adalah suatu tindakan atau
proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Evaluasi adalah kegiatan
mengumpulkan data seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang bersangkutan dengan
kapabilitas siswa guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa yang
dapat mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar.
Pada
bagian lain, keberhasilan proses pembelajaran ditunjukkan dengan terjadinya
perubahan sikap dan perilaku serta peningkatan status pengetahuan dari tidak
tahu menjadi tahu. Eaton, seperti yang dikutip oleh Snelbecker, (1974: 13)
menghendaki bahwa belajar itu bersifat aktif. Belajar merupakan fungsi situasi
menyeluruh yang berada di sekitar anak. Belajar itu diarahkan oleh tujuan dan
ada dalam hidup dan perbuatan, ada dalam pengalaman dan dalam upaya untuk
memahami arti dari pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan demikian, ketika kita
berbicara tentang belajar maka kita berbicara bagaimana pengetahuan, sikap dan
perilaku diubah melalui pengalaman.
Seiring
dengan perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar siswa dan interaksi
antara siswa dan guru, maka pembelajaran dengan mengedepankan pemberian
pengalaman nyata inilah yang harus dikedepankan dalam praktek pembelajaran di
sekolah oleh guru. Siswa bukanlah sebuh botol kosong yang bisa diisi dengan
muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu,
alur proses belajar mengajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa
bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa lainnya. “Bahkan, banyak
penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer
teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru” (Anita Lie,
2008: 12).
Guru
harus mampu menyiapkan iklim pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik.
Pembelajaran yang dimaksudkan adalah upaya menciptakan kondisi dengan sengaja
agar tujuan pembelajaran dapat dipermudah (facilitated)
pencapaiannya (Eveline Siregar, 2007: 4). Corey (1986) seperti yang dikutip
oleh Syaiful Sagala (2008: 61) menjelaskan bahwa pembelajaran adalah suatu
proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan
ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus.
Jadi,
peranan guru bukan semata-mata memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan
dan memberi fasilitas belajar (directing
and facilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai (Syaiful
Sagala, 2008: 61). Oleh karena itu, guru perlu mengetahui kemampuan dasar dan
karakteristik yang dimiliki oleh siswa, motivasinya, latar belakang
akademisnya, latar belakang sosial ekonominya dan lain sebagainya. Menurut
Gagne (1979) ada lima kemampuan manusia yang merupakan hasil belajar sehingga
memerlukan berbagai model dan strategi pembelajaran untuk mencapainya, yaitu :
(1) keterampilan intelektual; (2) strategi kognitif; (3) informasi verbal; (4)
keterampilan motorik; dan (5) sikap dan nilai, (Depdiknas, 1998/1999: 16).
Penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat mendorong tumbuhnya rasa senang
peserta didik terhadap pelajaran, menumbuhkan dan meningkatkan motivasi dalam
mengerjakan tugas, memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahami pelajaran
sehingga memungkinkan siswa mencapai hasil belajar yang lebih baik.
Melalui
pemilihan model pembelajaran, guru/dosen dituntut untuk memiliki pemahaman yang
komprehensip serta mampu mengambil keputusan yang rasional kapan waktu yang
tepat untuk menerapkan salah satu atau beberapa strategi pembelajaran secara
efektif, (Killen, 1998: 16). Kecermatan guru didalam menentukan model
pembelajaran menjadi semakin penting, karena pembelajaran adalah suatu proses
yang kompleks yang didalamnya melibatkan berbagai unsur yang dinamis. Huitt,
(2003: 4) mengingatkan meskipun keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran
dikelas merupakan hal yang penting, akan tetapi guru harus tetap dapat
mengontrol aktivitas perilaku siswa dikelas, mencermati perbedaan-perbedaan
antar siswa serta karakteristik masing-masing individu.
Model
pembelajaran juga dapat dimaknai sebagai perangkat rencana atau pola yang dapat
dipergunakan untuk merancang bahan-bahan pembelajaran serta membimbing
aktivitas pembelajaran dikelas. Brady (1985: 7), mengemukakan bahwa model
pembelajaran dapat diartikan sebagai blueprint
yang dapat dipergunakan untuk membimbing guru di dalam mempersiapkan dan
melaksanakan pembelajaran.
C. Desain
Pembelajaran Aktif.
Pembelajaran
sebagai proses untuk menyediakan iklim yang kondusif bagi peserta didik agar
dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, perlu
direncanakan secara matang dan berkesinambungan serta dapat dievaluasi
pelaksanaannya. Dalam buku ini, istilah yang digunakan untuk mewakili kata perencanaan
pembelajaran adalah istilah “Desain Pembelajaran”. Desain Pembelajaran diartikan sebagai suatu proses
merupakan pengembangan komponen pembelajaran secara spesifik dan sistematis
berdasarkan teori-teori belajar dan pengajaran untuk menentukan kualitas
pembelajaran (Anglin, 1991; Ibrahim dan Syaodih, 1993).
Selanjutnya, istilah pengembangan sistem instruksional (instruksional system development) dan
desain instruksional (instrucsional
design) sering dianggap sama, atau setidak-tidaknya tidak dibedakan secara
tegas dalam penggunaannya, meskipun menurut arti katanya ada perbedaan antara
“desain” dan “pengembangan”. Kata “desain” berarti membuat sketsa atau pola
atau outline atau rencana pendahuluan. Sedang “Pengembangan” berarti membuat
tumbuh secara teratur untuk menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih
efektif dan sebagainya (Harjanto, 2008: 95).
Beberapa definisi yang menunjukkan persamaan antara keduanya
adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan
sistem intruksional adalah suatu proses secara sistematis dan logis untuk
mempelajari problem-problem pembelajaran, agar mendapatkan pemecahan yang
teruji validitasnya dan praktis
bisa dilaksanakan (Ely, 1979: 4).
2. Sistem
Intruksional adalah semua materi pelajaran dan metode yang telah diuji dalam
praktek yang dipersiapkan untuk mencapai tujuan dalam keadaan senyatanya
(Baker, 1971: 16). Dengan kata lain bahwa sistem intruksional merupakan tatanan
aktifitas belajar mengajar.
3. Desain
intruksional adalah keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar
serta pengembangan tekhnik mengajar dan materi pengajarannya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Termasuk di dalamnya adalah pengembangan paket
pembelajaran, kegiatan mengajar, uji coba, revisi dan kegiatan mengevaluasi
hasil belajar (Briggs, 1979: 20).
4. Desain sistem
instruksional ialah pendekatan secara sistematis dalam perencanaan dan
pengembangan sarana serta alat untuk mencapai kebutuhan dan tujuan
intruksional. Semua konsep sistem ini (tujuan, materi, metode, media, alat,
evaluasi) dalam hubungannya satu sama lai dipandang sebagai kesatuan yang
teratur sistematis. Komponen-komponen tersebut lebih dahulu diuji coba
efektifitasnya sebelum disebarluaskan penggunaannya (Briggs, 1979: XXI).
5. Pengembangan
sistem intruksional adalah suatu
proses menentukan dan menciptakan situasi dan kondisi tertentu yang menyebabkan
siswa dapat berinteraksi sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan di dalam
tingkah lakunya (Carrey 1977: 6).
Dari
pandangan di atas secara umum dapat dijelaskan bahwa desain pembelajaran atau desain instruksional menggambarkan program
pembelajaran dalam satuan-satuan tertentu yang berisi antara lain: standar
kompetensi, kompetensi dasar mata pelajaran, materi pokok, kegiatan belajar
mengajar, serta sistem penilaian. Dengan merancang terlebih dahulu apa yang
harus dipelajari siswa, diharapkan pembelajaran dapat berfungsi secara efektif dan
aktif mendorong siswa membangun pengetahuan melalui pengamalan nyata dan
interaksi aktif dengan berbagai sumber belajar yang tersedia (learning resource by utilization) maupun
sumber belajar yang secara sengaja dirancang untuk kepentingan pembelajaran (learning resource by design).
Menurut Mukminan (2006: 19) setidaknya terdapat lima
asumsi dasar yang mendasari perlunya desain pembelajaran, yaitu: 1) diarahkan
untuk membantu proses belajar secara individual, 2) desain pembelajaran
mempunyai fase-fase jangka pendek dan jangka panjang, 3) dapat mempengaruhi
perkembangan individu secara maksimal, 4) didasarkan pada pengetahuan tentang
cara belajar manusia, dan 5) dilakukan dengan menerapkan pendekatan sistem (system
approach).
Clarence Scahauer (Atwi Suparman, 2001: 29 – 30) menyatakan
bahwa “desain pembelajaran sebagai perencanaan secara
akal sehat untuk mengidentifikasi masalah belajar dan mengusahakan pemecahan
masalah tersebut dengan menggunakan suatu rencana terhadap pelaksanaan,
evaluasi, uji coba, umpan balik, dan hasilnya”. Buhl (Atwi Suparman, 2001: 30)
memberikan definisi “desain pembelajaran sebagai suatu set kegiatan yang
bertujuan meningkatkan kondisi belajar bagi siswa”. Berdasarkan uraian tersebut diperoleh suatu kesimpulan tentang desain
pembelajaran, yaitu suatu perencanaan kegiatan yang diperlukan untuk memberikan
petunjuk arah pencapaian tujuan belajar tertentu.
Berikut beberapa Model Desain Pembelajaran yang dapat sebagai
alternatif untuk mendesain pembelajaran aktif.
1) Model yang
dikembangkan Gagne dan Briggs
Gagne dan Briggs (1974: 212-213) mengemukakan 12 langkah
dalam pengembangan desain pembelajaran sebagai berikut :
1. Analisis dan
identifikasi kebutuhan
2. Penetapan tujuan
umum dan khusus
3. Identifikasi
alternatif cara memenuhi kebutuhan
4. Merancang komponen
dari sistem
5. Analisis (a)
sumber-sumber yang diperlukan (b) sumber-sumber yang tersedia (c)
kendala-kendala.
6. Kegiatan untuk
mengatasi kendala
7. Memilih atau
mengembangkan materi pelajaran
8. Merancang prosedur
penelitian murid
9. Uji coba lapangan :
evaluasi formatif dan pendidikan guru.
10.Penyesuaian, revisi dan evaluasi lanjut
11.Evaluasi sumatif
12.Pelaksanaan operasional
Model tersebut di atas merupakan model yang paling lengkap
yang melukiskan bagaimana suatu proses pembelajaran dirancang secara sistematis
dari awal sampai akhir. Kegiatan seperti ini cocok untuk diterapkan pada suatu
program pendidikan yang relatif baru. Di Indonesia prosedur tersebut mencakup
mulai dari simposium dan pengembangan kurikulum yang dilakukan mulai dari
tingkat sekolah (KTSP). Kemudian guru diberikan kewenangan untuk mengembangkan
standar kompetensi menjadi sejumlah kompetensi dasar yang dituangkan secara
eksplisit dalam silabus dan RPP.
2) Model Wong dan
Roulerson
Wong dan Roulerson (1974) mengemukakan 6 langkah pengembangan
desain intruksional yaitu :
1. Merumuskan tujuan
2. Menganalisis tujuan
tugas belajar
3. Mengelompokkan
tugas-tugas belajar dan memilih kondisi belajar yang tepat.
4. Memilih metode dan
media
5. Mensintesiskan
komponen-komponen pembelajaran
6. Melakasanakan
rencana, mengevaluasi dan memberi umpan balik.
3) Model Pengembangan
Desain Sistem Intruksional PPSI
PPSI merupakan singkatan dari prosedur pengembangan sistem
intruksional. Istilah sistem instruksional mengandung pengertian bahwa PPSI
menggunakan pendekatan sistem dimana pembelajaran adalah suatu kesatuan yang
terorganisasi, yang terdiri dari seperangkat komponen yang saling berhubungan
dan bekerjasama satu sama lain secara fungsional dan terpadu dalam rangka
mencapai tujuan yang diharapkan.
Dengan demikian PPSI adalah suatu langkah-langkah
pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran sebagai suatu sistem dalam rangka
untuk mencapai tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien (Harjanto,
2008 : 75). PPSI sebagai salah satu
model pengembangan instruksional pernah digunakan sebagai metode penyampaian pembelajaran
dalam kurikulum 1975 untuk SD, SMP dan SMU serta dalam kurikulum 1975 untuk
sekolaj kejuruan dalam rangka pembaharuan pendidikan. Model pengembangan
intruksional PPSI ini memiliki 5 langkah pokok yaitu :
a. Merumuskan tujuan
instruksional khusus/kompetensi dasar
b. Mengembangkan alat
evaluasi
c. Menetapkan kegiatan
belajar dan materi pelajaran
d. Merencanakan program
kegiatan
e. Melaksanakan program
1. Menyelenggarakan
pre-test
2. Menyajikan materi
pelajaran
3. Menyelenggarakan
pos tes
4. Melakukan
revisi//perbaikan
4) Model J.E. Kemp
Menurut Kemp (1977) pengembangan intruksional atau desain
pembelajaran itu terdiri dari 8 langkah yaitu :
1. Menentukan tujuan
intruksional umum (TIU) atau Standar Kompetensi.
2. Menganalisis
karakteristik peserta didik
3. Menentukan TIK atau
Kompetensi Dasar.
4. Menentukan materi
pelajaran
5. Menetapkan
penjajagan awal (pre test)
6. Menentukan strategi
belajar mengajar
7. Mengkoordinasi
sarana penunjang, yang meliputi tenaga fasilitas, alat, waktu dan tenaga.
8. Mengadakan evaluasi
5) Model Briggs
Pengembangan desain pembelajaran model Briggs ini
berorientasi pada rancangan sistem dengan sasaran guru yang bekerja sebagai
perancang atau desainer kegiatan intruksional maupun tim pengembang
intruksional yang anggotanya meliputi guru, administrator, ahli bidang studi,
ahli evaluasi, ahli media, dan perancang intruksional. Model ini juga sesuai
untuk pengembangan program-program latihan jabatan tidak hanya terbatas pada
lingkungan program-program akademis saja. Dissamping itu, model tersebut
dirancang sebagai metodologi pemecahan masalah belajar.
Model pengembangan intruksional Briggs ini bersandarkan pada
prinsip keselarasan antara a) tujuan yang akan dicapai, b) strategi untuk
mencapainya, dan c) evaluasi keberhasilannya. Langkah pengembangan dimaksud
dirumuskan kedalam 10 langkah pengembangan yaitu :
1. Identifikasi
kebutuhan/penentuan tujuan
Dalam langkah
ini, Brigg membaginya menjadi 4 tahapan kegiatan yaitu a) mengidentifikasi
tujuan kurikulum secara umum dan luas, b) menentukan prioritas tujuan, c) mengidentifikasi
kebutuhan kurikulum baru, dan d) menentukan prioritas remidialnya.
2. Penyusunan garis
besar kurikulum/rincian tujuan kebutuhan instruksional yang telah dituangkan
dalam tujuan-tujuan kurikulum tersebut pengujiannya harus dirinci, disusun dan
diorganisasi menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik.
3. Perumusan tujuan
4. Analisis
tugas/tujuan
Dalam langkah ini
perlu diadakan analisis terhadap tiga hal yaitu:
a) Proses informasi:
untuk menentukan tata urutan pemikiran yang logis.
b) Klasifikasi
belajar: untuk mengidentifikasi kondisi belajar yang diperlukan
c) Tugas belajar:
untuk menentukan persyaratan belajar dan kegiatan beajar mengajar yang sesuai.
5. Penyiapan evaluasi
hasil belajar
6. Menentukan jenjang
belajar
7. Penentuan kegiatan belajar.
Penentuan
strategi pembelajaran ditinjau dari dua segi yaitu a) dari segi guru sebagai
perancang kegiatan pembelajaran dan b) menurut tim pengembangan pembelajaran.
8. Pemantauan bersama
9. Evaluasi formatif
10.Evaluasi sumatif
6) Model Gerlach dan
Ely
Model pengembangan desain intruksional yang dikembangkan oleh
Gerlach dan Ely (1971) ini dimaksudkan untuk pedoman perencanaan mengajar.
Menurut Gerlach dan Ely (1971), langkah-langkah dalam pengembangan desain
intruksional terdiri dari :
1. Merumuskan tujuan
instruksional
2. Menentukan isi
materi pelajaran
3. Menentukan kemampuan
awal peserta didik
4. Menentukan teknik
dan strategi
5. Pengelompokan
belajar
6. Menentukan pembagian
waktu
7. Menentukan ruang
8. Memilih media
intruksional yang sesuai
9. Mengevaluasi hasil
belajar
10.Menganalisis umpan balik
7) Model Bela H.
Banathy
Menurut Banathy, secara garis besar pengembangan desain pembelajaran
meliputi enam langkah pokok yaitu :
1. Merumuskan tujuan
2. Mengembangkan tes
3. Menganalisis kegiatan
belajar
4. Mendesain sistem
intraksional
5. Melakasanakan
kegiatan dan mengetes hasil
6. Merumuskan tujuan
intruksional
8) Model
Dick and Carey
Tahapan
model pengembangan sistem pembelajaran menurut Dick and Carey (1937 : 1)
dibagi menjadi 10 tahapan. Gambar berikut menunjukkan tahapan model desain pembelajaran dimaksud.
1. Mengidentifikasi Tujuan Umum Pembelajaran.
Dick and Carrey
(1985) mengatakan bahwa tujuan pengajaran adalah untuk menentukan apa yang
dapat dilakukan oleh anak didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Tujuan
pembelajaran ini perlu dirumuskan secara spesifik, dapat diukur dan jelas,
sebab hal ini akan memberikan keuntungan kepada:
a. Siswa untuk dapat
mengatur waktu dan pemusatan perhatian pada tujuan yang ingin dicapai
b. guru untuk dapat mengatur
kegiatan instruksionalnya, motodenya dan strategi untuk mencapai tujuan
tersebut.
c. evaluator untuk
dapat menyusun tes sesuai dengan apa yang harus dicapai oleh anak didik.
Kriteria rumusan tujuan pembelajaran
a. Dick and Carrey
(1985): rumusannya harus jelas, dapat diukur dan berbentuk tingkah laku.
b. Miarso (1984):
Rumusannya menggunakan istilah yang operasional, berbentuk hasil belajar,
berbentuk tingkah laku, jelas hanya mengukur satu tingkah laku.
c. Mudhofir (1990):
formulasi dalam bentuk yang operasional, bentuk produk belajar, dalam tingkah
laku si belajar, jelas tingkah laku yang ingin dicapai, hanya mengandung satu
tujuan belajar, tingkat keleluasaan yang dicapai, rumusan tingkah laku jelas
dan mencantumkan standar tingkah laku yang dapat diterima.
Komponen-komponen
rumusan tujuan pembelajaran (Degeng: 1989, Uno Hamzah: 1993)
a.
Audience
b.
Behavioral
c.
Conditions
d.
Degree.
2. Melakukan
Analisis Pembelajaran.
Analisis pembelajaran ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi
keterampilan bawahan (subordinate skills).
Jadi, posisi analisis pembelajaran dalam keseluruhan desain pembelajaran
merupakan perilaku prasyarat, perilaku yang mennurut proses psikologis muncul
lebih dahulu atau secara kronologis terjadi lebih awal, sehingga analisis ini
merupakan acuan dasar dalam melanjutkan langkah-langkah desain berikutnya. Dick
and Carrey (1985) mengatakan bahwa tujuan pembelajaran yang telah
diidentifikasi perlu dianalisis untuk mengenali keterampilan-keterampilan
bawahan (subordinate skills) yang
mengharuskan anak didik belajar menguasainya dan langkah-langkah prosedural
bawahan yang ada harus diikuti anak didik untuk dapat belajar tertentu.
Gagne, Briggs, dan Wager (1988), mengatakan bahwa tujuan
analisis pembelajaran adalah untuk menentukan keterampilan-keterampilan yang
akan dijangkau oleh tujuan pembelajaran serta memungkinkan untuk membuat
keputusan yang diperlukan dalam urutan mengajar. Sementara Atwi Suparman
(1991), mengatakan bahwa analisis pembelajaran adalah proses menjabarkan
perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun secara logik dan spesifik.
3. Mengidentifikasi tingkah laku masukan dan
karakteristik siswa
Proses ini
sangat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas perorangan yang dapat
dijadikan sebagai petunjuk dalam mengekspresikan strategi pengelolaan
pembelajaran. Aspek-aspek yang perlu diungkap dalam kegiatan ini berupa: bakat,
motivasi belajar, gaya belajar, kemampuan berpikir, minat dan kemampuan
lainnya.
4. Merumuskan
tujuan khusus/performans.
Menurut Dick and
Carrey (1985) menyatakan bahwa tujuan performansi terdiri atas:
a. tujuan harus
menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik
b. menyebutkan tujuan,
memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat yang hadir pada waktu anak
didik berbuat
c. menyebutkan kriteria
yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada
tujuan.
Gagne, Brigs dan
Mager menjelaskan bahwa fungsi performansi objektif adalah:
a.
Menyediakan suatu
sarana dalam kaitannya dengan pembelajaran untuk mencapai tujuan
b.
Menyediakan suatu
sarana berdasarkan suatu kondisi belajar yang sesuai
c.
Memberikan arah dalam
mengembangkan pengukuran atau penilaian
d.
Membentu anak didik
dalam usaha belajarnya.
5. Mengembangkan
Butir-Butir Tes Acuan Patokan
Tes acuan patokan terdiri atas soal-soal yang secara langsung
mengukur istilah patokan yang dideskripsikan dalam suatu perangkap tujuan
khusus. Istilah patokan (criterion)
dipergunakan karena soal-soal tes merupakan rambu-rambu untuk menentukan
kelayakan penampilan siswa pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Bagi
seorang perancang pembelajaran harus mengembangkan butir tes acuan patokan,
karena hasil tes pengukuran tersebut berguna untuk:
a.
Mendiagnosis dan
menempatkannya dalam kurikulum.
b.
Menceking hasil belajar
dan menemukan kesalahan pengertian, sehingga dapat diberikan pembelajaran
remidial sebelum pembelajaran dilanjutkan.
c.
Menjadi dokumen
kemajuan belajar.
Dalam mengembankan butir-butir tes acuan patokan, Dick and
Carrey (1985) merekomendasikan 4 (empat)) macam tes acuan patokan yaitu (1) Test entry behaviors merupakan tes acuan
patokan untuk mengukur keterampilan sebagaimana adanya pada permulaan
pembelajaran, (2) Pretes merupakan
tes acuan patokan yang berguna bagi keperluan tujuan yang telah dirancang
sehingga diketahui sejauh mana pengetahuan anak didik terhadap tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkkan. (3) tes
sisipan berfungsi (a) mengetes setelah satu atau dua tujuan pembelajaran
diajarkan (b) untuk mengetes kemajuan anak didik, sehingga dapat dilakukan perbaikan
(remidial) yang dibutuhkan sebelum
pascates yang lebih formal. (4) Post Test.
6. Mengembangkan
strategi pembelajaran.
Komponen
strategi pembelajaran terdiri atas:
a.
Kegiatan
prapembelajaran
b.
Penyajian informasi
c.
Peran serta
siswa/mahasiswa
d.
Pengetesan/penilaian/tindak
lanjut.
7. Mengembangkan
materi pembelajaran.
Dick and Carey
mengatakan bahwa terdapat tiga pola yang dapat diikuti oleh guru/dosen untuk
merancang atau menyampaikan pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
a.
Guru/Dosen merancang bahan
pembelajaran individual, semua tahap pembelajaran dimasukkan ke dalam bahan,
kecuali prates dan pascates.
b.
Guru/Dosen memilih dan
mengubah bahan yang ada agar sesuai dengan strategi pembelajaran.
c.
Guru/Dosen tidak
memiliki bahan, tetapi menyampaikan semua pembelajaran menurut strategi
pembelajaran yang telah disusunnya. Guru/Dosen menggunakan strategi
pembelajarannya sebagai pedoman termasuk latihan dan kegiatan kelompok.
8. Merancang
& Mengembangkan Evaluasi Formatif.
Evaluasi ini berfungsi untuk mengumpulkan data bagi perbaikan
pembelajaran. Dengan kata lain, karena evaluasi formatif akan ditemukan
berbagai kekurangan yang terdapat dalam kegiatan pembelajaran, sehingga
kekurangan-kekurangan tersebut dapat diperbaiki. Menurut, Dick and Carrey
(1985), ada tiga fase pokok penilaian formatif yaitu (1) fase perorangan atau
fase klinis. Pada fase ini perancang bekerja dengan siswa secara perorangan
untuk memperoleh data guna penyempurnaan bahan pembelajaran. Data yang dimaksud
disini biasanya kesalahan-kesalahan. (2) fase kelompok kecil, yaitu sekelompok
kecil siswa yang terdiri dari 8-10 yang merupakan wakil cerminan dari populasi
sasaran mempelajari bahan secara mandiri dan kemudian diuji untuk memperoleh
data yang diperlukan. (3) fase uji lapangan. Boleh diikuti oleh banyak siswa
(minimal 30). Tekanan dalam uji ini adalah pada pengujian prosedur yang
diperlukan untuk memberlakukan pembelajaran itu dalam suatu keadaan yang sangat
nyata mungkin.
9.
Merevisi Bahan Pembelajaran.
Mengapa revisi bahan pembelajaran diperlukan ? Untuk
menyempurnakan bahan pembelajaran sehingga lebih menarik, efektif bila
digunakan dalam keperluan pembelajaran, sehingga memudahkan untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam kaitan dengan ini terdapat 2
revisi yang perlu dipertimbangkan yaitu: (1) revisi terhadap isi atau substansi
bahan pembelajaran agar lebih cermat sebagai alat belajar. (2) revisi terhadap
cara-cara yang dipakai dalam menggunakan bahan pembelajaran.
10.Merancang dan Mengembangkan Evaluasi Summatif
Mengapa perlu dilakukan
evaluasi sumatif? karena melalui evaluasi sumatif dapat ditetapkan atau
diberikan nilai apakah suatu desain pembelajaran efektif atau efisien dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, evaluasi sumatif
diarahkan pada keberhasilan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, yang
diperlihatkan oleh unjuk kerja siswa.
9) Model pengembangan desain
pembelajaran versi PEKERTI yang dikenal dengan MPI (Model Pengembangan
Instruksional) (Atwi Suparman, 2001: 60) meliputi delapan langkah sebagai
berikut: a) identifikasi kebutuhan instruksional dan menulis tujuan
instruksional umum (TIU). b) melakukan analisis instruksional. c)
mengidentifikasi prilaku dan karakteristik awal siswa. d) menulis tujuan
instruksional khusus. e) menulis tes acuan patokan. f) menyusun strategi
instruksional. g) mengembankan bahan instruksional. h) menyusun desain dan
melaksanakan evaluasi formatif.
Di Indonesia, dari beberapa model yang diuraikan di atas,
secara empiris ditemukan bahwa rata-rata dalam mendesain peembelajaran aktif,
para praktisi pendidikan seperti guru dan doses seringkali menggunakan model
desain Dick and Carrey, Model Gagne dan Briggs, Model Brigs dan model PPPSI.
Jika dianalisis, kenapa secara faktual para guru dan atau dosen cenderung
menggunakan model desain Dick and Carrey misalnya dikarenakan: (1) Model Dick
and Carrey terdiri dari 10 langkah di mana setiap langkah sangat jelas maksud
dan tujuannya, sehingga bagi perancang pemula sangat cocok sebagai dasar untuk
mempelajari model desain yang lai; (2) kesepuluh langkah pada model Dick and
Carrey menunjukkan hubungan yang sangat jelas dan tidak terputus antara langkah
yang satu dengan langkah yang lain; (3) langkah awal pada model Dick and Carrey
adalah mengidentifikasi tujuan pembelajaran. Langkah ini sangat sesuai dengan
kurikulum perguruan tinggi maupun sekolah menengah dan sekolah dasar, khususnya
dalam mata pelajaran tertentu dimana tujuan pengajaran pada kurikulum agar
dapat melahirkan suatu rancangan pembelajaran.
Selanjutnya, model lain yang sering digunakan di Indonesia
adalah Model Desain Pembelajaran dari Briggs. Model ini sering digunakan karena
pengembangan desain intruksional model Briggs ini berorientasi pada rancangan
sistem dengan sasaran guru/dosen yang bekerja sebagai perancang atau desainer
kegiatan intruksional maupun tim pengembang intruksional yang anggotanya
meliputi guru, administrator, ahli bidang studi, ahli evaluasi, ahli media, dan
perancang intruksional. Model ini juga sesuai untuk pengembangan
program-program latihan jabatan tidak hanya terbatas pada lingkungan
program-program akademis saja. Di samping itu, model tersebut dirancang sebagai
metodologi pemecahan masalah belajar. Model pengembangan intruksional Briggs
ini bersandarkan pada prinsip keselarasan antara a) tujuan yang akan dicapai,
b) strategi untuk mencapainya, dan c) evaluasi keberhasilannya.
Kemudian, model berikutnya yang dijadikan sebagai model
desain pembelajaran di Indonesia adalah model PPSI. PPSI merupakan singkatan
dari prosedur pengembangan sistem intruksional. Istilah sistem instruksional
mengandung pengertian bahwa PPSI menggunakan pendekatan sistem dimana
pembelajaran adalah suatu kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri dari
seperangkat komponen yang saling berhubungan dan bekerjasama satu sama lain
secara fungsional dan terpadu dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
Dengan demikian PPSI adalah suatu langkah-langkah pengembangan dan pelaksanaan
pembelajaran sebagai suatu sistem dalam rangka untuk mencapai tujuan yang
diharapkan secara efektif dan efisien (Harjanto, 2008 : 75). PPSI sebagai salah satu model pengembangan
instruksional pernah digunakan sebagai metode penyampaian pembelajaran dalam
kurikulum 1975 untuk SD, SMP dan SMU serta dalam kurikulum 1975 untuk sekolaj
kejuruan dalam rangka pembaharuan pendidikan.
Selanjutnya model terakhir yang ditemukan lagi trend
digunakan saat ini adalah model yang dikembangkan oleh Gagne dan Briggs. Sebab,
model tersebut merupakan model yang paling lengkap yang melukiskan bagaimana
suatu proses pembelajaran dirancang secara sistematis dari awal sampai akhir.
Kegiatan seperti ini cocok untuk diterapkan pada suatu program pendidikan yang relatif
baru. Di Indonesia prosedur tersebut mencakup mulai dari simposium dan
pengembangan kurikulum yang dilakukan mulai dari tingkat sekolah (KTSP).
Kemudian guru diberikan kewenangan untuk mengembangkan standar kompetensi
menjadi sejumlah kompetensi dasar yang dituangkan secara eksplisit dalam
silabus dan RPP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar